Intan Kalimantan Masih Butuh Polesan Untuk Berkilau

id Intan Kalimantan Masih Butuh Polesan Untuk Berkilau

Intan Kalimantan Masih Butuh Polesan Untuk Berkilau

Seorang pendulang menggoyangkan lenggangnya untuk mencari butiran intan di kawasan pendulangan desa Pumpung Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. (Foto Antara/Herry Murdy)

Jakarta (Antara Kalteng) - Intan, mineral alam paling keras, terbentuk dari atom-atom karbon jauh di kedalaman 150-450 kilometer dari muka bumi, di mana suhu dan tekanannya luar biasa tinggi.

Pada situasi tersebut atom-atom karbon bisa berubah menjadi intan dengan cara membentuk struktur ikatan tetrahedron yang merupakan struktur atom paling teratur dan stabil.

Bentuk tetrahedral ini mengakibatkan intan memiliki sifat yang sangat keras, 10 pada skala Mohs dengan nilai kekerasan absolut, sehingga tidak ada mineral atau benda lain yang bisa menggoresnya.

Intan yang ditemukan kebanyakan merupakan hasil  proses pembentukan jutaan-miliar tahun yang lalu, namun erupsi magma mengeluarkan intan-intan di mantel bumi tersebut ke permukaan.

Intan, menurut pakar geologi Dr Ildrem Syafri merupakan mineral yang langka dan hanya ada di batuan kimberlit yang ada pada kerak bumi dalam struktur vertikal dan dikenal sebagai "kimberlites pipes".

Pada umumnya kimberlit ditemukan hanya di daerah kratonik, kerak benua tertua yang masih terjaga sejak pembentukannya, seperti di benua Afrika bagian selatan, ujar dosen Fakultas Geologi Universitas Padjadjaran Bandung itu.

Meski belum ditemukan batuan kimberlit di Kalimantan, namun di pertambangan tradisional Cempaka di Banjarbaru pada 1965 pernah ditemukan intan yang sangat besar yakni Intan Tri Sakti seberat 166,75 karat atau 0,03375 kg.

Menurut Ildrem, intan di Kalsel tidak berasal dari kimberlit namun hasil endapan aluvial di sungai purba setelah mengalami transportasi yang panjang.

Sejumlah pakar menyebut intan ini berasal dari ofiolit, penggalan kerak samudera dan lapisan mantel yang tersingkap di bagian tepi kerak benua, hasil aktivitas subduksi intens yang terjadi di Kalimantan pada Zaman Kapur (berumur 65-120 juta tahun).

"Namun geolog lainnya memperkirakan sumber intan Martapura berasal dari Pegunungan Meratus di Kalsel yang masih jadi misteri. Ini memerlukan penelitian yang panjang," ujarnya.

    
Ekspor Intan
Indonesia tercatat sempat melakukan ekspor belasan ribu hingga puluhan ribu karat intan kasar per tahun ke Eropa sejak PT Galuh Cempaka, perusahaan patungan antara Australia, Malaysia dan Indonesia memulai produksinya pada 2003 di Kacamatan Cempaka, Kalsel.

Namun sejak ditutupnya perusahaan tambang ini pada akhir 2008 ekspor intan asal Kalimantan kurang terdengar lagi kabarnya, penggalian intan akhirnya dilakukan sendiri oleh para penambang tradisional hingga kini.

Menurut tokoh masyarakat Kalsel Tajuddin Noor Ganie, intan di kawasan Cempaka tidak bisa ditambang secara mekanis karena hasil penelitian yang pernah dilakukan menyebut dari setiap ton tanah yang digali peluangnya mendapat intan hanya 0,4 karat.

Jadi, ujar dia, hasil penjualan intan Cempaka tidak bisa menutup besarnya biaya eksploitasi dengan mesin, kecuali dengan peralatan sederhana dan para pendulang yang bekerja dengan mengandalkan nasib dan peruntungan.

Para penambang tradisional yang kebanyakan warga sekitar kemudian menjual butiran-butiran intan mentah yang didapatnya kepada agen pengumpul di lokasi penambangan.

Si pengumpul ini kemudian menggosok intannya lebih dulu di tempat penggosokan intan atau menjualnya mentah-mentah jika ada pembeli yang mencarinya, atau menjualnya langsung ke sentra batu mulia Martapura.

Harga di pendulangan intan maupun di pengumpul tidak memiliki standar, dan tergantung dari besar-kecil intan itu serta kualitasnya menurut kesepakatan mereka.

Pengelola Unit Usaha Penggosokan Intan Bank Indonesia Banjarmasin Burhanuddin mengatakan intan Banjar tidak menarik meskipun, menurut dia, termasuk yang berkualitas baik di dunia.

"Masalahnya ada di 'cutting'. Pemotongan intan Kalimantan tidak berstandar internasional," kata pimpinan lembaga yang didirikan pada 1980 itu.

Nilai dari intan itu, ujar dia, ditentukan oleh 4C, yakni berat (carat), kejernihan (clarity), warna (colour) dan yang juga penting adalah hasil pemotongan/pengasahan (cut).

Karat adalah satuan berat untuk semua batu permata di mana satu karat sama dengan seperlima gram, dan satu karat berlian memiliki diameter sekitar 6,5 mm.

Namun demikian semakin besar berlian, semakin langka sehingga jika ada berlian yang lebih besar dari satu karat maka akan dianggap langka dan umumnya berharga sekali. Setiap tambahan karat akan menambah nilai berlian.

Berlian seberat hanya 0,76 karat berwarna sangat bening (D) dengan kejernihan VVS 1 yang sudah melalui polesan berstandar internasional berharga Rp9,5 juta di pasaran, berlian yang beratnya 1,10 karat dengan kualitas yang sama harganya menjadi Rp14,44 juta sedangkan yang 1,40 karat dengan kualitas sama jadi Rp23,9 juta.

Ia menyebutkan, kejernihan ditentukan oleh karakteristik internal yang disebut "inklusi" dan fitur permukaan yang disebut "cacat" yang muncul di masa intan tercipta dalam magma cair.

Selama unsur-unsur karbon mengkristal menjadi intan di masa pendinginan, mineral lain bisa jadi terbentuk lebih cepat dan terperangkap di dalamnya sehingga mengotori kejernihan berlian dan membuatnya menjadi kurang bernilai.

Ia mengatakan, kejernihan dinilai dengan menggunakan pembesaran 10 X di bawah pencahayaan di mana F (flawless) adalah berlian yang sempurna, sangat jarang ditemukan dan sangat mahal, tingkat di bawahnya adalah VVS (very very slight inclusions), VS (very slight), SI (slight inclusions) dan I (inclusions visible to naked eye) yang jumlahnya banyak dan murah.

Sementara itu warna berlian bisa disebabkan oleh kotoran kimia atau cacat struktural dalam kisi kristal di mana warna ini bisa mengurangi nilai dari suatu berlian yang transparan (tak berwarna), di mana idealnya berlian tidak memiliki warna sama sekali (D), sampai sangat berwarna (Z).

Namun demikian berlian berwarna merah muda intens atau berlian biru dapat secara dramatis lebih berharga. Dari semua berlian berwarna, berlian merah yang paling langka.

    
Masalah "Cutting"
Selain ketiga C yang secara alami dimiliki intan tersebut, menurut Burhanuddin, masih diperlukan polesan oleh seorang perajin intan agar "cutting" (pemotongan) intan menjadi indah.

Bagaimana cara memotong intan, ujarnya, sangat berpengaruh pada nilainya karena pemotongan memastikan bahwa intan memiliki kilauan maksimum yang tidak akan terjadi bila pemotongan batu tersebut dilakukan secara acak.

"Intan Indonesia biasa dijual mentah-mentah ke pengunjung asing yang datang, atau kalaupun digosok tidak menggunakan standar internasional, sehingga nilainya rendah," katanya sambil menunjukkan cara memotong intan yang benar.
Potongan batu permata ada beberapa macam, antara lain potongan yang paling sederhana cabochon, lalu oval, pir, markisa, lingkaran, persegi, oktagon, trilian, bantal, hingga bentuk hati, namun potongan berlian (brilliant cut) merupakan bentuk standar untuk intan.

"Brilliant cut yang standar terdiri dari 58 faset, atau 57 dengan sebuah culet. Ini akan memiliki efek langsung pada cara berlian memantulkan cahaya dan menghasilkan kilauan," ujarnya.

Intan dibentuk sedemikian sehingga hampir semua sinar yang datang ke permukaannya membentuk sudut yang lebih besar dari 24,6 derajat sehingga sinarnya akan dipantulkan sempurna dan membuat intan tampak berkilauan.

Memotong intan dengan maksud menjadikannya lebih berkilauan, menurut dia, tidaklah mudah, karena hanya sebagian yang menjadi berlian, sebagian lainnya akan terbuang.

"Jadi kalau ada pendulang menjual intan kasar yang karatnya terbilang besar belum tentu hasilnya adalah perhiasan berlian yang besar juga, karena 60 persen itu jadi serbuk yang hilang selesai proses 'cutting'," katanya.  
    
Namun pemotongan berstandar internasional ini membuat kemampuan intan mendispersikan cahaya menjadi maksimal dan membuat berlian jauh lebih indah dan berharga dibanding yang tanpa pemolesan standar.