Ini perbedaan gejala demam dengue dengan COVID-19

id gejala DBD,gejala covid 19,gejala corona,Ini perbedaan gejala DBD dengan COVID-19

Ini perbedaan gejala demam dengue dengan COVID-19

Ilustrasi (Pixabay)

Jakarta (ANTARA) - Selain COVID-19, masyarakat Indonesia juga berisiko menghadapi demam dengue dan demam berdarah dengue (DBD) terutama di masa musim penghujan belakangan ini.

Ketiganya bisa sama-sama berbahaya karena bisa membuat penderitanya kehilangan nyawa, sehingga mengenali gejala dan menanganinya menjadi penting.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), gejala demam dengue meliputi muntah terus-menerus (tiga kali dalam 24 jam), perdarahan mukosa, kesulitan bernapas, lesu atau gelisah, hipotensi postural, pembesaran hati.

Pakar kesehatan, dr. Vito Anggarino Damay kepada ANTARA beberapa waktu lalu menyampaikan, penderita juga mengalami demam tinggi (di atas 40 derajat Celcius) selama empat hingga tujuh hari setelah digigit nyamuk Aedes aegypti, sakit kepala hebat terutama pada bagian belakang mata serta nyeri otot dan sendi.

Baca juga: Kelelahan terus menerus jadi gejala COVID-19?

Tanda berwarna merah biasanya baru muncul di seluruh tubuh pada tiga sampai empat hari setelah demam, kemudian berkurang setelah satu hingga dua hari. Tidak ada obat untuk demam dengue dan pengobatannya hanya menangani gejala. Pada kebanyakan orang, gejala demam dengue berlangsung selama 2-7 hari.

Pada DBD (yang merupakan kondisi dengue yang lebih parah), gejala umumnya sama seperti demam dengue seperti demam, muntah terus menerus, sakit perut, pendarahan dari hidung, gusi atau di bawah kulit sehingga menyebabkan memar berwarna keunguan.

Selama sekitar sehari atau dua hari berikutnya, kapiler darah di seluruh tubuh mulai merembeskan cairan mengalir dan membanjiri rongga perut. Cairan juga bisa mengalir ke rongga paru-paru sehingga menyebabkan sesak napas atau kerusakan kelenjar getah bening dan pembesaran hati. Akibat terburuknya, penderita bisa menghadapi kematian.

Vito menyarakan, segeralah berkonsultasi ke dokter jika demam tak kunjung turun dan gejala demam dengue muncul untuk segera mendapatkan perawatan.

Baca juga: Mengetahui diabetes tak cukup hanya dari gejala

Sementara COVID-19 yang disebabkan virus SARS-CoV-2 ditularkan melalui droplet saat seseorang yang terinfeksi batuk, bersin atau berbicara. Masa inkubasi penyakit ini bisa 14 hari dengan rata-rata empat sampai lima hari setelah terpapar gejala.

Gejala penyakit ini antara lain demam, kesulitan bernapas, nyeri atau merasa tertekan terus-menerus di dada, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, diare, bibir atau wajah kebiruan.

"Tanda dan gejala COVID-19 ini yang dialami kebanyakan orang dengan penyakit tersebut. Namun, tanda ini tidak inklusif. Dokter harus menyadari potensi kondisi beberapa pasien memburuk dengan cepat satu minggu setelah gejala," kata CDC.

Jika Anda mengalami gejala COVID-19, segera berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan penanganan, termasuk tes COVID-19 sembari mengelola stres yakni dengan mengonsumsi makanan sehat, istirahat yang cukup, lakukan aktivitas fisik semampu Anda, hindari menonton atau membaca terlalu banyak berita atau menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial, tetap terhubung dengan teman dan keluarga, seperti melalui panggilan telepon atau video dan lakukan aktivitas yang Anda sukai, seperti membaca buku atau menonton film.

Baca juga: Hidung tersumbat dan pilek belum tentu pertanda COVID-19

Pandemi COVID-19 dan transmisi dengue
 
Laman Medical News Today mencatat, secara global, demam dengue terjadi di lebih dari 100 negara, dengan sekitar 400 juta orang di seluruh dunia terjangkit penyakit ini setiap tahun.

Selama pandemi COVID-19, beberapa negara termasuk Indonesia menerapkan langkah-langkah jarak fisik untuk mengurangi penyebaran SARS-CoV-2 sekaligus berefek menurunkan mobilitas orang-orang. Adakah efeknya pada penularan demam dengue?

Baca juga: Dokter sebut Mo Salah hanya alami gejala COVID-19 ringan

Untuk itu, peneliti Jue Tao Lim dan koleganya di National University of Singapore melakukan studi untuk mengukur dampak pada jumlah kasus virus dengue di Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal PLOS Neglected Tropical Diseases itu memperhitungkan waktu dimulainya pemberlakukan aturan jarak fisik, data iklim, seperti curah hujan total, kelembapan, dan musim hujan serta kemarau.

Pada 2019, rata-rata jumlah kasus demam dengue yang dilaporkan di Thailand, Singapura dan Malaysia per 10.000 orang masing-masing adalah 1,15, 2,15, dan 0,31.

Setelah mengontrol tren waktu dan musim iklim, jumlah kasus demam meningkat secara signifikan yakni 0,431 kasus per 10.000 orang per provinsi di Thailand setelah pengenalan jarak fisik.

Baca juga: Kondisi kulit ini bisa jadi tanda COVID-19

Meskipun penularan di tempat kerja dimungkinkan, demam dengue umumnya menular di rumah. Risiko tertular penyakit ini lebih besar di daerah perkotaan dan pedesaan yang memiliki bangunan tempat tinggal bertingkat rendah dan lebih banyak jaringan drainase.

Untuk mencegah terkena penyakit ini, dokter menyarankan semua orang rajin membersihkan rumah termasuk menguras atau mengganti air bak mandi dan menutup semua tempat penyimpanan air bersih, paling tidak seminggu sekali.

Selain itu, hindari menumpuk pakaian karena nyamuk Aedes aegypti cenderung menyukai aroma tubuh manusia, jangan membiarkan begitu barang tak terpakai, sebaiknya mengenakan baju lengan panjang, hingga memanfaatkan kelambu tidur untuk mencegah gigitan nyamuk jika AC tak tersedia.

Di sisi lain, melibatkan pelacakan populasi nyamuk dan memasukkan Wolbachia, sejenis bakteri yang menghalangi kemampuan serangga untuk membawa virus berbahaya juga bisa menjadi pilihan untuk mencegah terkena demam dengue.

Baca juga: Benarkah sakit tenggorokan jadi pertanda COVID-19?

Baca juga: Dokter sebut tangan berkeringat dingin belum tentu gejala jantung

Baca juga: Perbedaan gejala demam dengue dan DBD