Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa dua orang untuk dimintai keterangan sebagai saksi kasus dugaan suap pengurusan hak guna usaha (HGU) PT. Adimulia Agrolestari di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau.
"Hari ini pemeriksaan saksi tindak pidana korupsi pengurusan dan perpanjangan hak guna usaha di Kanwil BPN Riau untuk tersangka MS dan kawan-kawan," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu.
Dua saksi tersebut, yakni atas nama Fitrawati selaku karyawan PT Peputra Supra Jaya dan atas nama Kandar selaku karyawan PT Sumberjaya.
Pemeriksaan keduanya dilakukan penyidik KPK bertempat di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
Sebelumnya penyidik KPK pada Kamis, 27 Oktober 2022, mengumumkan penetapan tiga orang tersangka dugaan suap terkait pengurusan dan perpanjangan HGU di Kanwil BPN Provinsi Riau.
Mereka adalah mantan Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau M. Syahrir (MS), swasta/pemegang saham PT Adimulia Agrolestari (AA) Frank Wijaya (FW), dan General Manager PT AA Sudarso (SDR)
Atas perbuatannya, FW dan SDR sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara, MS sebagai penerima melanggar pasal 12 huruf (a) atau pasal 12 huruf (b) atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam konstruksi perkara, KPK menyebut FW sebagai pemegang saham PT AA memerintahkan dan menugaskan SDR untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU PT AA yang segera akan berakhir masa berlakunya pada 2024.
Dari awal proses pengurusan HGU tersebut, SDR selalu diminta untuk aktif menyampaikan setiap perkembangannya kepada FW. Selanjutnya, SDR menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan MS membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT AA.
Pada Agustus 2021, SDR menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT AA seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) yang salah satunya ditujukan juga ke Kanwil BPN Provinsi Riau.
KPK mengungkapkan SDR kemudian menemui MS di rumah dinas jabatannya. Dalam pertemuan tersebut, diduga ada permintaan uang oleh MS sekitar Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura dengan pembagian 40 persen-60 persen sebagai uang muka dan MS menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA.
Dari pertemuan tersebut, SDR melaporkan permintaan MS kepada FW dan SDR kemudian mengajukan permintaan uang 120 ribu dolar Singapura (setara dengan Rp1,2 miliar) ke kas PT AA dan disetujui FW.
Sekitar September 2021, atas permintaan MS, penyerahan uang 120 ribu dolar Singapura dari SDR dilakukan di rumah dinas MS dan MS mensyaratkan agar SDR tidak membawa alat komunikasi apapun.
Setelah menerima uang tersebut, MS kemudian memimpin ekspose permohonan perpanjangan HGU PT AA dan menyatakan usulan perpanjangan itu bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Andi Putra selaku Bupati Kuansing yang menyatakan tidak keberatan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar, Riau.
Terkait penerimaan uang, KPK menduga MS memiliki dan menggunakan beberapa rekening bank dengan menggunakan nama kepemilikan di antaranya para pegawai Kanwil PBN Riau dan pegawai kantor pertanahan Kabupaten Kampar.
KPK menduga dalam kurun waktu September 2021 hingga 27 Oktober 2021, MS menerima aliran sejumlah uang, baik melalui rekening bank atas nama pribadi MS maupun atas nama dari beberapa pegawai BPN tersebut, sejumlah Rp791 juta yang berasal dari FW.
Selain itu, pada kurun waktu tahun 2017 hingga 2021, MS diduga menerima gratifikasi sejumlah sekitar Rp9 miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi. Hal itu akan didalami dan dikembangkan tim penyidik.