AstraZeneca Indonesia ajak pasien asma tes ketergantungan inhaler SABA

id AstraZeneca Indonesia,ketergantungan inhaler ,Kalteng,SABA,Stop Ketergantungan,inhaler

AstraZeneca Indonesia ajak pasien asma tes ketergantungan inhaler SABA

Medical Director AstraZeneca Indonesia dr. Feddy, figur publik Zaskia Adya Mecca, dan Dokter Spesialis Paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Dr. H. Mohamad Yanuar Fajar Sp.P, FISR, FAPSR, MARS, usai talkshow "Stop Ketergantungan: Inhaler Tepat, Redakan Asma" di Jakarta, Rabu (10/5/2023) (ANTARA/Suci Nurhaliza)

Jakarta (ANTARA) - AstraZeneca Indonesia mengajak pasien asma untuk melakukan tes ketergantungan inhaler short-acting beta-agonists (SABA), sebagian bagian dari kampanye "Stop Ketergantungan".

Medical Director AstraZeneca Indonesia dr Feddy dalam acara temu media di Jakarta pada Rabu mengatakan, hal tersebut dilakukan sebagai wujud komitmen AstraZeneca untuk menjadi mitra para pemangku kepentingan termasuk Kementerian Kesehatan RI dalam penanganan penyakit tidak menular, salah satunya asma.

"Di website itu, ada informasi mengapa SABA berbahaya jika digunakan secara berlebihan dan membeli sendiri tanpa pengawasan, dan ada kuesioner singkat," kata Feddy.

Adapun tes tersebut diadaptasi dari Kuesioner Risiko SABA yang telah divalidasi. Pasien asma dapat melakukan tes melalui laman www.stopketergantungan.id.

Feddy menjelaskan bahwa hasil kuesioner tersebut akan menunjukkan tingkat ketergantungan pasien terhadap inhaler pelega SABA.

"Akan disebutkan apakah saya berisiko tinggi terhadap ketergantungan SABA, risiko sedang, atau risiko rendah," ujar Feddy.

Setelah memahami risiko dan kecenderungan ketergantungan SABA, Feddy mengatakan pasien dapat berkonsultasi dengan tenaga kesehatan profesional untuk menentukan langkah selanjutnya dalam pengobatan dan penanganan asma yang mereka butuhkan.

Studi Global Burden of Disease (GBD) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa diperkirakan terdapat 262 juta orang yang terkena asma di seluruh dunia, di mana inhaler pelega dianggap oleh pasien sebagai pengendali penyakit mereka.

Di Indonesia, SABA Use in Asthma (SABINA) menunjukkan bahwa 37 persen pasien asma diresepkan inhaler pelega jenis SABA sebanyak lebih dari tiga kanister per tahun.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa penggunaan inhaler pelega SABA secara berlebihan dapat berakibat buruk bagi kesehatan.

Laporan strategi Global Initiative for Asthma (GINA) tahun 2019-2022 menunjukkan bahwa penggunaan inhaler pelega SABA secara rutin walaupun hanya 1-2 minggu, justru kurang efektif dan menyebabkan banyak peradangan pada saluran napas, serta mendorong kebiasaan buruk penggunaan secara berlebihan.

Ketika pasien asma terlalu sering menggunakan atau terlalu bergantung pada inhaler pelega SABA, mereka berisiko tinggi mengalami serangan asma, dirawat di rumah sakit, dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.