Dokter sebut kebiasaan begadang dapat merusak hati

id Begadang,hati,penyakit hati,kerusakan hati

Dokter sebut kebiasaan begadang dapat merusak hati

Ilustrasi gangguan tidur. (ANTARA/Pexels/Cottonbro)

Jakarta (ANTARA) - Dokter sekaligus pemerhati kesehatan dr Reisa Broto Asmoro mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kebiasaan begadang karena kebiasaan tersebut menimbulkan sejumlah risiko yang dapat merusak hati.
  
"Tidur adalah basic manusia, paling tidak tujuh sampai delapan jam sehari pada malam hari. Kalau badan dipaksa berubah jam tidurnya menjadi bangun, maka dapat mengganggu fungsi metabolisme tubuh," katanya dalam diskusi terkait begadang yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
  
Reisa mengatakan kebiasaan begadang dapat mengganggu fungsi organ tubuh. Di mana seharusnya sejumlah organ tubuh seperti hati diistirahatkan pada malam hari agar dapat berfungsi sebagaimana semestinya.
  
"Karena bagaimana pun, tidur itu untuk kita rechargelagi, kalau fungsi tubuh mau optimal, ya, tidurnya harus cukup," ujarnya.

Baca juga: Kapolda Metro Jaya tekankan anak muda di Jakarta tidak usah begadang

Baca juga: Penelitian sebut makanan yang disantap pengaruhi waktu tidur

  
Reisa mengungkapkan sejumlah penelitian membuktikan bahwa kebiasaan begadang dapat menimbulkan risiko kerusakan hati. Salah satunya adalah hati yang tidak mampu lagi menyaring racun atau detoksifikasi pada tubuh.
  
Racun yang menumpuk, kata dia, dapat menyebabkan sejumlah permasalahan pada hati seperti hepatitis, sirosis hati, perlemakan hati, hingga kanker hati.
  
"Maka harus tidur yang cukup di malam hari, paling tidak dalam satu siklus tidur tubuh kita masuk fase deep sleep (tidur nyenyak) sebanyak dua sampai tiga kali," katanya.
  
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Tim Kerja Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Ratna Budi Hapsari mengatakan survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 mencatat sebanyak 7,1 persen masyarakat Indonesia terinfeksi hepatitis B, sementara sekitar satu persen masyarakat terinfeksi hepatitis C.
  
"Menariknya, 80-90 persen orang yang terinfeksi hepatitis tidak mengetahui kalau dirinya terinfeksi, sehingga tidak mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan terdekat," ujar Ratna.
  
Oleh karena itu, dia menyatakan Kemenkes saat ini tengah berupaya dalam melakukan upaya promotif dan preventif berupa Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), imunisasi hepatitis, serta pencegahan di tingkat keluarga dengan melakukan skrining.
  
Selain itu, uji saring darah juga diterapkan sebelum dapat ditransfusikan kepada yang membutuhkan. Melalui sejumlah hal tersebut, Ratna berharap prevalensi hepatitis serta sejumlah penyakit hati lainnya di Indonesia dapat ditekan.*