Sampit (ANTARA) - Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah Riskon Fabiansyah mengomentari polemik prosesi wisuda peserta didik tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) yang menurutnya memang bukan sebuah keharusan sehingga tidak boleh dipaksakan. 

"Terkait polemik acara wisuda di lingkungan sekolah mulai TK-SMA sederajat, kami meminta Dinas Pendidikan untuk mengeluarkan surat imbauan untuk semua satuan pendidikan agar apabila kegiatan wisuda tersebut terdapat penolakan orang tua murid maka tidak dilaksanakan dan diganti kegiatan lain yang tidak membebani orang tua murid dengan biaya-biaya lain," kata Riskon di Sampit, Sabtu. 

Menurut Riskon, dunia pendidikan Indonesia memang perlu masih perlu banyak berbenah. Setelah sebelumnya di salah satu daerah di temukan group whatsApp LGBT di jenjang pendidikan Sekolah Dasar, sekarang yang sedang viral masalah prosesi wisuda, bahkan hingga muncul pernyataan untuk mengembalikan prosesi wisuda hanya untuk jenjang perguruan tinggi. 

Polemik prosesi wisuda dalam acara perpisahan tingkat TK, SD, SMP sampai SMA sederajat, ditujukan terkait pembahasan manfaat dan mudharatnya. 

Dari sudut pandang orang tua wali murid pun banyak menyampaikan keberatan, apalagi yang ekonominya lemah. Hal itu lantaran wisuda bagi peserta didik di sekolah dianggap membuang uang, padahal mereka mesti mempersiapkan lagi dana untuk pendaftaran anaknya ke jenjang pendidikan selanjutnya. 

Menurut politisi Partai Golkar dari daerah pemilihan Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, pihak sekolah biasanya beralasan tujuan acara wisuda untuk memotivasi dan memunculkan kebanggaan warga sekolah. Selain itu sebagai sarana silaturahim siswa, guru, Komite Sekolah dan orang tua murid. 

Baca juga: Masyarakat antusias sampaikan aspirasi langsung kepada Bupati Kotim

Biasanya, pihak sekolah beralasan ini sudah dirapatkan dengan Komite Sekolah. Padahal, belum tentu semua orang tua setuju atau ikhlas mengeluarkan biaya untuk prosesi wisuda tersebut. 

Hal perlu dipahami bersama, kata Riskon, Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite sekolah memang menyebutkan bahwa tanggung jawab terhadap dunia pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab orang tua. Selain itu, Komite diperbolehkan menjalankan tugasnya menggalang dukungan dari masyarakat, dunia usaha sesuai ketentuan. 

"Tetapi tetap tidak dibenarkan apabila keputusan hasil rapat Komite menetapkan besaran sumbangan yang diwajibkan untuk pelaksanaan kegiatan di lingkungan sekolah. Yang namanya sumbangan itu tidak boleh diwajibkan besarannya. Artinya, disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua murid," tegasnya. 

Riskon meminta bagi orang tua yang merasa keberatan atas pungutan dari pihak sekolah agar bisa melaporkan kepada pihaknya di DPRD karena pungutan itu termasuk pungutan liar atau pungli. 

"Dan juga tidak boleh pihak sekolah menahan ijazah murid dikarenakan tidak mengikuti acara wisuda atau perpisahan. Kalau ada kejadian demikian, kami siap menindaklanjutinya," demikian Riskon Fabiansyah. 

Baca juga: Bupati Kotim pastikan perbaikan jalan jadi prioritas

Baca juga: Krematorium Sampit jadi yang pertama di Kalteng

Baca juga: Bupati Kotim gencar besuk dan bantu warga yang sakit

Pewarta : Norjani
Editor : Muhammad Arif Hidayat
Copyright © ANTARA 2024