Limbah cair pabrik kelapa sawit bernilai ekonomi tinggi

id Guru Besar Fakultas Kehutanan Institute Pertanian Bogor, IPB, Prof Yanto Santosa, sawit, kelapa sawit, kalteng

Limbah cair pabrik kelapa sawit bernilai ekonomi tinggi

Kawasan perkebunan sawit Riau tercatat terluas di Indonesia dengan areal 3 juta hektare lebih itu, akan banyak memproduksi limbah sehingga investasi strategis hilirisasi limbah padat, cair dan limbah gas sawit potensial kini giat dikembangkan pemerintah daerah. ANTARA/Frislidia.

Palangka Raya (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Kehutanan Institute Pertanian Bogor (IPB) Prof Yanto Santosa menyatakan bahwa perlu ada perubahan paradigma (mindset) dari
menganggap Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS), bukan limbah berbahaya tetapi berpotensi memberikan multi manfaat.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah cair sawit tersebut berpeluang memberikan manfaat untuk lingkungan dan agronomi hingga ekonomi, kata Yanto melalui rilis diterima di Palangka Raya, Kamis.

"Jika LCPKS dikelola dengan profesional, akan dapat diandalkan untuk mendukung laju pertumbuhan 8 persen sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto," ujarnya.

Dikatakan, untuk menghindari persepsi bahwa LCPKS bersifat berbahaya, meskipun tidak mengandung unsur B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), perlu dilakukan perubahan istilah LCPKS dari limbah cair menjadi air limbah. Hal tersebut merupakan sejumlah kesepakatan dari Focus Group Discussion (FGD) dengan tema ‘Penyempurnaan Kebijakan Peraturan Pengolahan/Pemanfaatan LCPKS secara Optimal dan Berkelanjutan’ yang diadakan PUSAKA KALAM, pada pekan lalu di Bogor, Jawa Barat.

Ketua Dewan Pakar Pusaka Kalam itu pun menjelaskan manfaat LCPKS yang begitu besar bagi perekonomian. Di mana LCPKS terproses memiliki berbagai kandungan hara yang dapat dijadikan sebagai nutrisi organik bagi tanaman kelapa sawit melalui land application (LA).

"Land application merupakan salah satu teknik pengelolaan limbah cair pabrik kelapa sawit dengan cara mengalirkan limbah cair melalui sistem parit ke kebun," kata Yanto.

Keuntungan agronomis berdasarkan kajian data dari 15 pabrik kelapa sawit (PKS), sebanyak 80% mengalami peningkatan produksi tandan buah segar (TBS) pada lahan yang diaplikasikan LCPKS dibandingkan dengan lahan yang tidak diaplikasikan, sedangkan 20% tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Dia juga mengungkapkan bahwa LCPKS terbentuk dari senyawa-senyawa karbon yang dapat berpotensi dijadikan sebagai sumber bahan bakar terbaharukan bagi kendaraan maupun pembangkit tenaga listrik. Selain itu, pemanfaatan LCPKS melalui sistem methane capture atau biodigester dapat mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

"Meskipun investasi awal tinggi pada teknologi methane capture dan biodigester, keuntungan yang diperoleh dari penggantian BBM untuk boiler dan penjualan cangkang kelapa sawit memberikan nilai ekonomi yang signifikan," kata dia.

Methane capture merupakan teknologi yang digunakan untuk menangkap gas metana hasil pembakaran limbah sawit. Adapun biodigester adalah alat yang digunakan untuk mengubah limbah organik menjadi biogas. Karena itu, dengan adanya land application, dapat menguntungkan secara ekonomi dalam penghematan pupuk sekitar Rp57 miliar per tahun per PKS.

Baca juga: Aturan 30 persen plasma bagi PBS sawit berpotensi maladministrasi

Nilai ini menunjukkan potensi besar dalam efisiensi biaya produksi melalui pengelolaan limbah cair yang berkelanjutan. Beberapa alternatif dari pemanfaatan LCPKS selain LA dan MC, misalnya dengan pengolahan berbasis alam dengan kombinasi LCPKS dan lalat Black Soldier Fly (BSF) dalam jangka panjang dapat menghasilkan produk bioplastik.

Selain itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai Palm Acid Oil (PAO), salah satu produk turunan LCPKS yang memiliki berbagai manfaat. Hanya saja, saat ini terdapat berbagai kelemahan dalam penanganan LCPKS dari aspek teknis. Diantaranya, masih kurangnya pemahaman tentang multi-manfaat LCPKS padahal LCPKS memiliki potensi manfaat agronomis, ekonomi, dan lingkungan yang besar.

Kemudian pembangunan kolam IPAL masih banyak ditemukan bersifat tidak permanen (tidak menggunakan konstruksi beton) sehingga dikhawatirkan akan terjadinya kebocoran.

"Patut diduga masih terdapat beberapa perusahaan yang kurang disiplin dalam pelaksanaan aplikasi LCPKS di lapangan sehingga terindikasi adanya
kebocoran/limpasan LCPKS yang menyebabkan pencemaran lingkungan," ungkapnya.

Yanto juga menyebut minimnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengawasan industri sawit. Investasi terhadap teknologi pengelolaan LCPKS tergolong mahal sehingga diperlukan adanya sistem insentif yang berkelanjutan agar pengelolaan LCPKS dapat optimal.

Baca juga: Distan yakin perda penetapan harga TBS lindungi petani sawit di Pulpis

Baca juga: Kapolres Seruyan cari akar permasalahan pencurian sawit di perusahaan

Baca juga: Seorang pengendara motor pelat merah diduga tabrak lari terhadap bocah