Palangka Raya (ANTARA) - Pemerintah Pusat diminta untuk lebih hati-hati dan ketepatan langkah dalam menata kebijakan penerbitan kawasan hutan, khususnya yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit.
Kehati-hatian itu penting karena Indonesia memiliki pelajaran berharga dari keruntuhan industri gula pasca nasionalisasi, kata Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Sudarsono Soedomo melalui rilis diterima di Palangka Raya, Kamis.
"Jangan sampai keruntuhan industri gula pasca nasionalisasi itu terulang kembali di sektor kelapa sawit," ucapnya.
Menurut dirinya, penurunan drastis produksi gula Indonesia sejak era nasionalisasi disebabkan oleh tiga faktor utama, kerusakan institusi, ketidaktepatan sistem insentif dan ketidakstabilan kebijakan. Di mana sebelum nasionalisasi pada pertengahan abad ke-20, industri gula Indonesia merupakan salah satu yang terkuat di dunia.
Ditambah lagi, konglomerasi terintegrasi seperti Oei Tiong Ham Group menguasai rantai pasok dari hulu hingga hilir: perkebunan, pabrik gula, distribusi hingga perdagangan internasional.
"Ketika nasionalisasi dilakukan, yang dialihkan bukan hanya aset fisiknya. Struktur organisasi, pengetahuan manajerial, dan ekosistem bisnis ikut hilang," beber Prof Sudarsono.
Hilangnya kapasitas tata kelola berbasis keahlian membuat efisiensi teknis menurun tajam. Pergeseran pengelolaan dari logika bisnis ke logika administrasi birokratis juga mengaburkan sistem insentif bagi petani dan pekerja, sehingga produktivitas dan kualitas tebu anjlok.
Ia menambahkan, ketidakstabilan kebijakan mulai dari harga, batasan impor, hingga strategi peremajaan pabrik membuat sektor gula kehilangan orientasi jangka panjang.
"Industri gula adalah industri jangka panjang. Jika kebijakan sering berubah, investasi dan peningkatan kapasitas tidak mungkin berjalan berkelanjutan," katanya.
Mengantisipasi tidak terulang di industri kelapa sawit, Sudarsono menekankan perlunya empat langkah strategis. Di mana, pertama pemerintah harus menyelesaikan status hukum lahan sawit rakyat melalui audit legalitas dan sejarah penguasaan lahan yang transparan.
Baca juga: Pemda se-Kalteng perkuat sinergi wujudkan perkebunan sawit berkelanjutan
Kedua, membangun kemitraan yang setara antara petani dan perusahaan dengan kontrak adil, mekanisme harga transparan, dan pembiayaan lunak. Ketiga, pemerintah harus mengarahkan insentif pada peningkatan produktivitas, bukan hanya ekspansi lahan.
"Era pertumbuhan ekstensif sudah selesai. Kita perlu pertumbuhan yang intensif berbasis pengetahuan," kata dia,
Keempat, negara harus membangun satu data sawit nasional yang terintegrasi, mencakup data lahan, kapasitas pabrik, aliran TBS, hingga data ekspor.
"Tanpa data tunggal, kebijakan akan selalu reaktif dan lemah dalam diplomasi perdagangan internasional," tegasnya.
Akademisi IPB itu pun menegaskan, tata kelola sawit adalah persoalan ekonomi sekaligus keadilan struktural. Di mana Negara harus hadir bukan hanya sebagai hakim, tetapi sebagai arsitek yang menata ulang relasi kuasa.
"Terpenting lagi, menjamin kepastian hukum dan menempatkan petani sebagai subjek pembangunan," demikian Sudarsono.
Baca juga: Cegah kebijakan merugikan petani sawit, data Satgas PKH perlu ditinjau ulang
Baca juga: Pengolahan sawit dan kelapa jadi magnet investasi baru di Kotim
Baca juga: Dianggap merugikan petani sawit, PP No.45/2025 minta dikaji ulang
