Ini penyebab perilaku 'panic buying' bisa terjadi

id Dicky pelupessy,iabi, panic buying,corona,dampak corona

Ini penyebab perilaku 'panic buying' bisa terjadi

Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Dicky Pelupessy berbicara dalam jumpa pers yang diadakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Kantor Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Minggu (22/03/2020). (ANTARA/Martha Herlinawati Simanjuntak)

Jakarta (ANTARA) - Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Dicky Pelupessy MDS PhD mengatakan perilaku membeli secara panik atau "panic buying" terjadi dikarenakan ketakutan secara tiba-tiba akibat adanya ancaman.

"Perilaku membeli secara panik barang-barang dalam jumlah besar didasari atas ketakutan secara tiba-tiba, untuk mengantisipasi kejadian sebelum dan sesudah bencana," ujar Dicky dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu.

Warga kemudian membeli barang secara berlebih atau melakukan penimbunan. Hal itu biasa terjadi saat situasi darurat. Misalnya dalam situasi karena pandemi virus COVID-19, yang menjadi incaran warga adalah masker dan penyanitasi tangan atau hand sanitizer.

Baca juga: Tetap jaga jarak dan belanja ketika sepi saat wabah COVID-19
Baca juga: Hetifah dukung Mendikbud ajak mahasiswa jadi relawan


Banyaknya warga yang memborong masker dan penyanitasi tangan membuat harga kedua barang tersebut melonjak dan langka.

Kemudian membeli secara panik khas Indonesia seperti banyaknya orang mencari dan membeli jahe dan empon-emponan.

"Gejala membeli secara panik, tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain," kata dia.

Kondisi membeli secara panik yang terjadi saat ini, lanjut Dicky, dikarenakan beberapa alasan. Pertama, merebaknya virus COVID-19 membuat seseorang kehilangan rasa pengendalian dirinya atau sense of control.

Sebagian besar masyarakat mempersepsikan virus COVID-19 sebagai musuh yang tidak terlihat dan bisa menginfeksi siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Terlebih belum ada antivirusnya.

"Sehingga kita merasa semakin rentan. Dalam kondisi seperti itu, membeli secara berlebih dapat membeli barang secara berlebih dapat mengkonpensasi perasaan sense of control kita," terang dia.

Baca juga: Menkes serukan semua masyarakat bahu-membahu atasi COVID-19
Baca juga: Peringatan Isra Miraj, Presiden berdoa kesulitan segera terlewati


Kedua, yakni informasi yang keliru dan tidak akurat. Seperti stok barang kurang, tempat penjualan komoditas itu buka atau tidak.

Perilaku membeli secara panik, juga dikarenakan virus COVID-19 mengingatkan pada kematian, yakni kerentanan manusia. Ketika manusia diingatkan dengan kerentanannya, maka manusia menjadi impulsif dalam membeli barang. Akibatnya orang yang membeli banyak uang bisa membeli lebih banyak barang.

"Ketiga, membeli secara panik itu terjadi karena manusia mendapatkan tekanan dari teman sebaya maupun lingkungannya. Sebagai makhluk sosial, apa yang dilakukan orang lain menjadi dasar apa yang dilakukannya," terang dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.