Sampit (ANTARA) - Jelang perayaan Imlek ada beberapa tradisi yang dilakukan warga Tionghoa di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, salah satunya mencuci rupang atau patung dewa-dewi, sebagai simbol pembersihan jiwa.
"Hari ini kami melakukan cuci rupang, baik itu rupang buddha, rupang dewa dan lainnya. Ini tradisi yang kami laksanakan jelang Imlek,” kata Sesepuh di Wihara Avalokitesvara, Hadi Cahya Gezali di Sampit, Minggu.
Dikatakan, kegiatan seperti ini biasanya dilaksanakan seminggu sebelum tahun baru Imlek. Di mana sejak pagi sejumlah warga Tionghoa di Kota Sampit berkumpul di Wihara Avalokitesvara untuk bergotong royong mencuci rupang, membersihkan altar, menyiapkan perlengkapan sembahyang, dan mempercantik lingkungan wihara.
Ketua Pengurus Daerah (PD) Majelis Buddhayana Indonesia (MJI) Kalteng, Bambang Siswanto menjelaskan, disamping menjadi tradisi kegiatan cuci rupang memiliki makna yang mendalam, yakni sebagai simbol pembersihan jiwa.
"Ibarat ada ikatan batin melalui cuci rupang kita juga harus sadar bahwa kita perlu membersihkan diri maupun pikiran kita dan itu perlu diingat dan dilakukan setiap waktu," ucapnya.
Dalam tahapan pencucian rupang tidak ada ritual khusus, lanjut dia, hanya saja sebelum memulai kegiatan perlu permisi dengan rupang dewa sebagai bentuk penghormatan.
Pencucian rupang menggunakan air bunga, karena bunga melambangkan keharuman, sehingga diharapkan dengan mencuci menggunakan air bunga dharma Buddha bisa menyebar layaknya aroma bunga dan masyarakat pun bisa merasakan aura atau dampak positifnya.
Kurang lebih ada 20 rupang yang dicuci di Wihara Avalokitesvara Sampit. Mulai dari rupang Buddha, Ti Cang Wang Pu Sa, Tho Tee Kong, Dewi Kwan Im, sampai yang terbaru adalah rupang Se Mien Fo yang memiliki empat wajah.
Wihara Avalokitesvara sengaja mendatangkan rupang baru untuk kepentingan umat Buddha, karena ada sebagian yang mengikuti ajaran dewa tersebut.
"Tujuan kami supaya umat Buddha semakin teguh keyakinannya dan supaya mereka semakin aktif ke vihara. Dengan aktif beribadah, diharapkan membawa dampak positif bagi pribadi mereka, agar selalu berbuat baik dan kebajikan," tuturnya.
Ada suatu kisah yang berkaitan dengan tradisi cuci rupang, Bambang menceritakan orang zaman dulu mempercayai bahwa menjelang Imlek dewa-dewi naik ke langit untuk membuat laporan.
Pada momentum inilah kesempatan bagi umat Buddha untuk melakukan pembersihan rupang yang kosong. Lalu, pada tahun baru Imlek dewa-dewi kembali ke bumi untuk melakukan tugasnya.
"Itu cerita orang tua kami zaman dulu, tapi intinya cuci rupang ini sudah menjadi tradisi menyambut perayaan Imlek," ujarnya.
Baca juga: WBP Lapas Sampit dibekali keterampilan pertukangan hingga membuat telur asin
Bambang menyebutkan, di Wihara Avalokitesvara ada sekitar 200-300 jemaat, bukan hanya warga asli Kotim tapi juga pendatang yang bekerja di wilayah ini, seperti dari Sumatera dan Pontianak. Biasanya para jemaat berkumpul pada hari-hari besar agama Buddha.
Tahun baru Imlek 2575 kongzili akan jatuh pada 10 Februari 2024 mendatang. Tahun ini shio Naga Kayu yang melambangkan kekuatan, kemakmuran, keberuntungan, kehormatan hingga kesuksesan.
Tahun ini bertepatan dengan tahun politik dengan akan digelarnya Pemilu serentak. Menghadapi tahun politik ini umat Buddha di Sampit berharap seluruh tahapan Pemilu berjalan lancar, aman dan damai, serta menghasilkan pemimpin terbaik yang dapat membawa bangsa Indonesia semakin maju kedepan.
Baca juga: Peningkatan bangunan Puskesmas Kota Besi diharap semakin optimalkan yankesmas
Baca juga: HATHI tanam 100 pohon di Kotim, jaga kelestarian air dan lingkungan