Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Hasto Kristiyanto menduga adanya konflik kepentingan dalam proses penyidikan kasus dugaan perintangan penyidikan kasus korupsi tersangka Harun Masiku dan pemberian suap yang menjeratnya.
Pasalnya, kata dia, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rossa Purbo Bekti telah bertindak sebagai saksi yang memberatkan dirinya, padahal seharusnya penyidik bersikap netral dan independen.
"Ini adalah konflik kepentingan yang jelas melanggar prinsip independensi dan netralitas dalam penegakan hukum," ucap Hasto saat membacakan nota keberatan atau eksepsi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
Keterangan Rossa sebagai saksi, kata dia, cenderung subjektif dan tidak didasarkan pada fakta hukum yang objektif lantaran cenderung mengarah pada maksud dan tujuan para penyidik untuk memberatkan dirinya, sehingga merugikan Hasto.
Hasto menegaskan bahwa prinsip independensi dan netralitas merupakan prinsip dasar dalam penegakan hukum, termasuk dalam Undang-Undang (UU) KPK Nomor 19 Tahun 2019.
Ia juga mengutip Pasal 17 UU KPK yang menyatakan bahwa penyidik harus independen dan tidak boleh memiliki konflik kepentingan. Pasal tersebut, sambung dia, jelas mengatur bahwa penyidik harus independen dan tidak boleh memiliki konflik kepentingan.
"Namun dalam kasus ini, Rossa justru melanggar prinsip ini," kata dia menegaskan.
Dirinya pun menyoroti dampak dari konflik kepentingan tersebut terhadap konstruksi surat dakwaan, yang banyak mengandung hal-hal yang merugikan Hasto. Sebab, ia menilai berbagai fakta hukum versi KPK berbeda dengan fakta-fakta persidangan sebelumnya yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Selain itu, dia menambahkan bahwa konflik kepentingan tersebut juga menyebabkan ketidakadilan dalam proses hukum, yang pada akhirnya bisa merusak integritas penegakan hukum.
"KPK harus menghormati prinsip independensi dan netralitas dalam menjalankan tugasnya," ungkap Hasto.
Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka pada rentang waktu 2019-2024.
Hasto diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.
Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019-2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif terpilih asal Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama anggota DPR periode 2019—2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.