Sampit (ANTARA) - Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah Halikinnor memberikan tanggapan terkait isu bahwa Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Murjani Sampit, menolak pasien yang hendak berobat.
“Kemarin sudah dijelaskan oleh Kepala Dinas Kesehatan, bahwa yang bersangkutan salah memahami. Dia (keluarga pasien) tidak mengajukan persyaratan untuk mendapat BPJS Kesehatan,” kata Halikinnor di Sampit, Rabu.
Diketahui, isu itu bermula dari unggahan pengguna media sosial yang mengaku disuruh pulang oleh pihak rumah sakit saat hendak membawa anaknya berobat. Unggahan itu pun kemudian mendapat banyak tanggapan dari warganet dan viral.
Setelah ditelusuri oleh Dinas Kesehatan setempat dan manajemen rumah sakit, rupanya terjadi kesalahpahaman atau miskomunikasi. Pasalnya, ketika warga berinisial NF membawa anaknya berobat ke rumah sakit, petugas kesehatan menanyakan jika layanan kesehatan akan dibayar pribadi atau menggunakan BPJS.
Jika ingin menggunakan BPJS tapi belum terdaftar, maka yang bersangkutan diminta untuk mengurus persyaratan pendaftaran BPJS terlebih dahulu. Namun, nampaknya NF salah memahami arahan tersebut.
Permasalahan itu juga sempat melibatkan salah satu organisasi masyarakat (ormas) adat, karena NF mengadukan hal tersebut ke ormas. Kendati demikian, kini kesalahpahaman sudah klir. Pihak rumah sakit sudah berkomunikasi dan memberikan penjelasan pada NF.
Sedangkan, anak dari NF telah dibawa berobat ke klinik swasta menggunakan biaya pribadi, setelah NF merasa ditolak oleh pihak rumah sakit.
Sehubungan dengan pelayanan kesehatan ini, Halikinnor menegaskan bahwa Kotim sudah menerapkan Universal Health Coverage (UHC) atau perlindungan kesehatan universal, sehingga isu yang mencuat tersebut murni disebabkan kesalahpahaman.
Diketahui, UHC adalah sistem yang menjamin semua orang mempunyai akses kepada pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dibutuhkan, dengan mutu yang memadai sehingga efektif, serta menjamin pula bahwa layanan tersebut tidak menimbulkan kesulitan finansial penggunanya.
“Ingat, Kotim tetap UHC. Tidak ada masyarakat yang tidak terlayani, makanya sering saya katakan kalau ada masyarakat merasa tak terlayani sebut saja nama saya, saya akan bayar rumah sakit atau di mana pun itu,” ucapnya.
Baca juga: HUT Kotim jadi momentum menggerakkan UMKM
Senada, Kepala Dinas Kesehatan Kotim, Umar Kaderi menyebut isu rumah sakit menolak pasien hanya disebabkan miskomunikasi. Meskipun, ia memaklumi hal tersebut, karena biasanya seorang pasien atau keluarga pasien ingin mendapat penanganan yang cepat.
“Namanya orang sakit ingin cepat penanganannya, tapi setahu saya mau itu pasien BPJS atau bukan, akan langsung dilayani,” ujarnya.
Umar membenarkan ada prosedur di RSUD dr Murjani bahwa pasien umum akan ditanyai sudah terdaftar BPJS Kesehatan atau belum. Kalau belum biasanya biaya pengobatan ditanggung pribadi atau disuruh mengurus BPJS agar mendapat pelayanan gratis, sehingga ia menduga pada tahap inilah yang menimbulkan miskomunikasi.
Lanjutnya, situasi yang dialami NF ini merupakan salah satu contoh dari banyaknya warga yang terbilang lalai dalam mengurus BPJS Kesehatan, karena usut punya usut sebenarnya NF dan anak-anaknya sudah terdaftar sebagai peserta mandiri BPJS Kesehatan.
Namun, sejak suami dari NF wafat, iuran BPJS Kesehatan itu tak pernah lagi dibayar, sehingga nominal tunggakan mencapai Rp4 juta.
Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya NF bisa mengajukan pengalihan status peserta mandiri menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan yang biaya iurannya ditanggung oleh pemerintah daerah, sehingga BPJS Kesehatan tersebut tetap bisa digunakan untuk berobat.
“Persoalan saat ini, BPJS-nya mati lalu mau berobat puskesmas atau rumah sakit, itu akan tetap kami layani, tapi setelah itu akan kami advokasi agar mengaktifkan BPJS, tapi memang kebanyakan masyarakat begitu sakit baru mau mengurus BPJS,” jelasnya.
Belajar dari kejadian ini, Umar mengimbau masyarakat yang belum mendaftar BPJS Kesehatan agar segera mendaftar. Terutama bagi warga kurang mampu, bisa mendaftar peserta PBI BPJS Kesehatan yang iuran bulanannya ditanggung pemerintah.
Sedangkan, untuk NF dan anak-anaknya sudah dibantu oleh BPJS Kesehatan Cabang Sampit untuk mengaktifkan kembali kepesertaannya dengan dialihkan dari peserta mandiri menjadi peserta PBI BPJS Kesehatan.
“Untuk kasus kemarin hanya miskomunikasi dari keluarga pasien dengan petugas kesehatan dan itu sudah kami selesaikan. Alhamdulillah, pengurusan BPJS yang bersangkutan tidak sampai 24 jam sudah beres,” demikian Umar.
Baca juga: Peresmian kantor Kecamatan Bukit Santuai simbol komitmen peningkatan pelayanan publik
Baca juga: DLH jelaskan penyebab penumpukan sampah di depo dekat SMPN 3 Sampit
Baca juga: BMKG Kotim: Waspada gelombang tinggi dampak Siklon Tropis Anggrek
“Kemarin sudah dijelaskan oleh Kepala Dinas Kesehatan, bahwa yang bersangkutan salah memahami. Dia (keluarga pasien) tidak mengajukan persyaratan untuk mendapat BPJS Kesehatan,” kata Halikinnor di Sampit, Rabu.
Diketahui, isu itu bermula dari unggahan pengguna media sosial yang mengaku disuruh pulang oleh pihak rumah sakit saat hendak membawa anaknya berobat. Unggahan itu pun kemudian mendapat banyak tanggapan dari warganet dan viral.
Setelah ditelusuri oleh Dinas Kesehatan setempat dan manajemen rumah sakit, rupanya terjadi kesalahpahaman atau miskomunikasi. Pasalnya, ketika warga berinisial NF membawa anaknya berobat ke rumah sakit, petugas kesehatan menanyakan jika layanan kesehatan akan dibayar pribadi atau menggunakan BPJS.
Jika ingin menggunakan BPJS tapi belum terdaftar, maka yang bersangkutan diminta untuk mengurus persyaratan pendaftaran BPJS terlebih dahulu. Namun, nampaknya NF salah memahami arahan tersebut.
Permasalahan itu juga sempat melibatkan salah satu organisasi masyarakat (ormas) adat, karena NF mengadukan hal tersebut ke ormas. Kendati demikian, kini kesalahpahaman sudah klir. Pihak rumah sakit sudah berkomunikasi dan memberikan penjelasan pada NF.
Sedangkan, anak dari NF telah dibawa berobat ke klinik swasta menggunakan biaya pribadi, setelah NF merasa ditolak oleh pihak rumah sakit.
Sehubungan dengan pelayanan kesehatan ini, Halikinnor menegaskan bahwa Kotim sudah menerapkan Universal Health Coverage (UHC) atau perlindungan kesehatan universal, sehingga isu yang mencuat tersebut murni disebabkan kesalahpahaman.
Diketahui, UHC adalah sistem yang menjamin semua orang mempunyai akses kepada pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dibutuhkan, dengan mutu yang memadai sehingga efektif, serta menjamin pula bahwa layanan tersebut tidak menimbulkan kesulitan finansial penggunanya.
“Ingat, Kotim tetap UHC. Tidak ada masyarakat yang tidak terlayani, makanya sering saya katakan kalau ada masyarakat merasa tak terlayani sebut saja nama saya, saya akan bayar rumah sakit atau di mana pun itu,” ucapnya.
Baca juga: HUT Kotim jadi momentum menggerakkan UMKM
Senada, Kepala Dinas Kesehatan Kotim, Umar Kaderi menyebut isu rumah sakit menolak pasien hanya disebabkan miskomunikasi. Meskipun, ia memaklumi hal tersebut, karena biasanya seorang pasien atau keluarga pasien ingin mendapat penanganan yang cepat.
“Namanya orang sakit ingin cepat penanganannya, tapi setahu saya mau itu pasien BPJS atau bukan, akan langsung dilayani,” ujarnya.
Umar membenarkan ada prosedur di RSUD dr Murjani bahwa pasien umum akan ditanyai sudah terdaftar BPJS Kesehatan atau belum. Kalau belum biasanya biaya pengobatan ditanggung pribadi atau disuruh mengurus BPJS agar mendapat pelayanan gratis, sehingga ia menduga pada tahap inilah yang menimbulkan miskomunikasi.
Lanjutnya, situasi yang dialami NF ini merupakan salah satu contoh dari banyaknya warga yang terbilang lalai dalam mengurus BPJS Kesehatan, karena usut punya usut sebenarnya NF dan anak-anaknya sudah terdaftar sebagai peserta mandiri BPJS Kesehatan.
Namun, sejak suami dari NF wafat, iuran BPJS Kesehatan itu tak pernah lagi dibayar, sehingga nominal tunggakan mencapai Rp4 juta.
Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya NF bisa mengajukan pengalihan status peserta mandiri menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan yang biaya iurannya ditanggung oleh pemerintah daerah, sehingga BPJS Kesehatan tersebut tetap bisa digunakan untuk berobat.
“Persoalan saat ini, BPJS-nya mati lalu mau berobat puskesmas atau rumah sakit, itu akan tetap kami layani, tapi setelah itu akan kami advokasi agar mengaktifkan BPJS, tapi memang kebanyakan masyarakat begitu sakit baru mau mengurus BPJS,” jelasnya.
Belajar dari kejadian ini, Umar mengimbau masyarakat yang belum mendaftar BPJS Kesehatan agar segera mendaftar. Terutama bagi warga kurang mampu, bisa mendaftar peserta PBI BPJS Kesehatan yang iuran bulanannya ditanggung pemerintah.
Sedangkan, untuk NF dan anak-anaknya sudah dibantu oleh BPJS Kesehatan Cabang Sampit untuk mengaktifkan kembali kepesertaannya dengan dialihkan dari peserta mandiri menjadi peserta PBI BPJS Kesehatan.
“Untuk kasus kemarin hanya miskomunikasi dari keluarga pasien dengan petugas kesehatan dan itu sudah kami selesaikan. Alhamdulillah, pengurusan BPJS yang bersangkutan tidak sampai 24 jam sudah beres,” demikian Umar.
Baca juga: Peresmian kantor Kecamatan Bukit Santuai simbol komitmen peningkatan pelayanan publik
Baca juga: DLH jelaskan penyebab penumpukan sampah di depo dekat SMPN 3 Sampit
Baca juga: BMKG Kotim: Waspada gelombang tinggi dampak Siklon Tropis Anggrek