Sampit (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah menurunkan status tanggap darurat banjir menjadi status transisi darurat banjir ke pemulihan selama 14 hari, yakni dari 23 Maret sampai 5 April 2024.
“Berdasarkan paparan dari para pemangku kepentingan di rapat, khususnya BMKG dan Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan II, kami sepakat menetapkan status transisi pemulihan,” kata Asisten II Sekretariat Daerah Kotim Alang Arianto di Sampit, Jumat.
Hal ini ia sampaikan usai mewakili Bupati Kotim Halikinnor memimpin rapat koordinasi (rakor) evaluasi status penetapan status tanggap darurat banjir di Pusdalops Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kotim.
Rakor tersebut melibatkan melibatkan BWS Kalimantan II, TNI, Polri, BMKG, Inspektorat, Basarnas, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Disdamkarmat dan lainnya.
Alang menjelaskan, salah satu alasan pihaknya menetapkan status transisi darurat banjir ke pemulihan dikarenakan prakiraan dari BMKG yang menyebutkan bahwa intensitas hujan di Kotim cenderung rendah dalam seminggu ke depan.
Meskipun, ada beberapa desa yang belum surut sepenuhnya dari banjir, seperti Desa Hanjalipan dan Sei Ubar Mandiri, namun hal tersebut bukan semata-mata disebabkan cuaca, melainkan kondisi geografis di Kotim yang terbilang rumit.
“Contohnya Desa Hanjalipan yang datarannya cukup rendah dan lokasinya berada di pertemuan dua alur sungai, yakni Sungai Tualan dan Mentaya, kalau hujan beberapa jam saja di hulu sungai maka desa ini akan terendam banjir. Begitu juga kalau air sungai pasang,” ujarnya.
Walaupun prakiraan intensitas curah hujan menurun, namun pihaknya tidak serta merta menghentikan status penanggulangan banjir. Sebab, menurutnya kondisi cuaca merupakan suatu hal yang tak bisa diprediksi 100 persen, sehingga perlu dilakukan antisipasi.
Dengan ditetapkannya status transisi darurat banjir ke pemulihan lalu dalam prosesnya terjadi situasi darurat, maka pemerintah daerah masih bisa mengerahkan bantuan tanpa harus menunggu penetapan status tanggap kembali.
Baca juga: Pelajar SMPN 2 Sampit antusias bagikan 500 takjil
“Karena kita tidak tau kondisinya seperti apa pasca banjir ini, mungkin ada penyakit-penyakit pasca banjir yang sulit ditangani kalau tidak dimasukkan ke masa transisi,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Pelaksana BPBD Kotim Multazam menyampaikan dalam status transisi darurat banjir ke pemulihan ini pihaknya melakukan kajian pasca bencana banjir, meliputi penghitungan kerusakan maupun kerugian, serta kebutuhan selanjutnya.
“Jadi dalam kebencanaan itu bukan dilihat dari kacamata bencananya saja, tapi dalam rangka pasca bencana kemudian,” ujarnya.
Lanjutnya, tujuan dilakukan kajian ini sebagai bahan acuan dalam menentukan cara penanggulangan bencana kedepannya, serta hal-hal yang perlu ditingkatkan guna meminimalkan dampak bencana.
Ia menyebutkan manajemen penanggulangan bencana ada tiga, yakni masyarakat dihindarkan dari bencana, bencananya dihilangkan atau dilepaskan dari masyarakat, masyarakat mampu berharmonisasi dengan situasi bencana.
Dalam penanggulangan bencana ini pemerintah daerah telah berupaya menghindarkan masyarakat dari bencana dengan cara menyediakan tempat relokasi, seperti yang dilakukan di Desa Hanjalipan.
Akan tetapi, realitanya masyarakat lebih memilih bertahan di lokasi awal dengan berbagai alasan, antara lain dekat dengan mata pencaharian dan kebiasaan hidup di tepi sungai.
“Yang terjadi di Desa Hanjalipan itu menunjukkan bahwa masyarakat telah berharmonisasi dan kearifan lokal tetap kami kedepankan dalam situasi bencana,” demikian Multazam.
Baca juga: Warga Sampit dikagetkan getaran gempa berturut-turut
Baca juga: Pemkab Kotim komitmen dukung pengembangan Bandara Haji Asan Sampit
Baca juga: Disdik Kotim sosialisasikan cara pengajuan TPP guru melalui aplikasi
“Berdasarkan paparan dari para pemangku kepentingan di rapat, khususnya BMKG dan Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan II, kami sepakat menetapkan status transisi pemulihan,” kata Asisten II Sekretariat Daerah Kotim Alang Arianto di Sampit, Jumat.
Hal ini ia sampaikan usai mewakili Bupati Kotim Halikinnor memimpin rapat koordinasi (rakor) evaluasi status penetapan status tanggap darurat banjir di Pusdalops Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kotim.
Rakor tersebut melibatkan melibatkan BWS Kalimantan II, TNI, Polri, BMKG, Inspektorat, Basarnas, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Disdamkarmat dan lainnya.
Alang menjelaskan, salah satu alasan pihaknya menetapkan status transisi darurat banjir ke pemulihan dikarenakan prakiraan dari BMKG yang menyebutkan bahwa intensitas hujan di Kotim cenderung rendah dalam seminggu ke depan.
Meskipun, ada beberapa desa yang belum surut sepenuhnya dari banjir, seperti Desa Hanjalipan dan Sei Ubar Mandiri, namun hal tersebut bukan semata-mata disebabkan cuaca, melainkan kondisi geografis di Kotim yang terbilang rumit.
“Contohnya Desa Hanjalipan yang datarannya cukup rendah dan lokasinya berada di pertemuan dua alur sungai, yakni Sungai Tualan dan Mentaya, kalau hujan beberapa jam saja di hulu sungai maka desa ini akan terendam banjir. Begitu juga kalau air sungai pasang,” ujarnya.
Walaupun prakiraan intensitas curah hujan menurun, namun pihaknya tidak serta merta menghentikan status penanggulangan banjir. Sebab, menurutnya kondisi cuaca merupakan suatu hal yang tak bisa diprediksi 100 persen, sehingga perlu dilakukan antisipasi.
Dengan ditetapkannya status transisi darurat banjir ke pemulihan lalu dalam prosesnya terjadi situasi darurat, maka pemerintah daerah masih bisa mengerahkan bantuan tanpa harus menunggu penetapan status tanggap kembali.
Baca juga: Pelajar SMPN 2 Sampit antusias bagikan 500 takjil
“Karena kita tidak tau kondisinya seperti apa pasca banjir ini, mungkin ada penyakit-penyakit pasca banjir yang sulit ditangani kalau tidak dimasukkan ke masa transisi,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Pelaksana BPBD Kotim Multazam menyampaikan dalam status transisi darurat banjir ke pemulihan ini pihaknya melakukan kajian pasca bencana banjir, meliputi penghitungan kerusakan maupun kerugian, serta kebutuhan selanjutnya.
“Jadi dalam kebencanaan itu bukan dilihat dari kacamata bencananya saja, tapi dalam rangka pasca bencana kemudian,” ujarnya.
Lanjutnya, tujuan dilakukan kajian ini sebagai bahan acuan dalam menentukan cara penanggulangan bencana kedepannya, serta hal-hal yang perlu ditingkatkan guna meminimalkan dampak bencana.
Ia menyebutkan manajemen penanggulangan bencana ada tiga, yakni masyarakat dihindarkan dari bencana, bencananya dihilangkan atau dilepaskan dari masyarakat, masyarakat mampu berharmonisasi dengan situasi bencana.
Dalam penanggulangan bencana ini pemerintah daerah telah berupaya menghindarkan masyarakat dari bencana dengan cara menyediakan tempat relokasi, seperti yang dilakukan di Desa Hanjalipan.
Akan tetapi, realitanya masyarakat lebih memilih bertahan di lokasi awal dengan berbagai alasan, antara lain dekat dengan mata pencaharian dan kebiasaan hidup di tepi sungai.
“Yang terjadi di Desa Hanjalipan itu menunjukkan bahwa masyarakat telah berharmonisasi dan kearifan lokal tetap kami kedepankan dalam situasi bencana,” demikian Multazam.
Baca juga: Warga Sampit dikagetkan getaran gempa berturut-turut
Baca juga: Pemkab Kotim komitmen dukung pengembangan Bandara Haji Asan Sampit
Baca juga: Disdik Kotim sosialisasikan cara pengajuan TPP guru melalui aplikasi