Jakarta (ANTARA) - Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengritisi urgensi revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, hendaknya perbaikan peraturan tersebut memprioritaskan kebutuhan masyarakat bukan internal institusi.
“Revisi Undang-Undang Polri harus memprioritaskan kebutuhan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan institusi Polri belaka,” kata Bambang dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Menurut Bambang, mengikuti perkembangan sosial budaya dan teknologi yang cepat, UU Nomor 2 Tahun 2002 yang berusia 20 tahun sudah selayaknya direvisi, disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Revisi kata dia, selain selain menjadi salah satu bentuk evaluasi pasal-pasal yang belum tercantum dalam undang-undang tersebut.
Namun, beredarnya draft revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 yang membahas soal penambahan kewenangan dan perpanjangan usia pensiun anggota Polri, hal itu menurut dia, sangat tidak subtantif pada kebutuhan masyarakat di masa depan.
“Bahkan hanya mengaburkan substansi-substansi yang lebih penting terkait revisi UU Polri,” ujarnya.
Tidak hanya itu, lanjut dia, penambahan kewenangan Polri tanpa diiringi sistem kontrol dan pengawasan yang kuat maupun perpanjangan usia pensiun berpotensi menjadi alat hegemoni kekuasaan pada lembaga tersebut.
“Ini bahaya, karena lembaga negara yang diberikan kewenangan penegakan hukum bisa dijadikan alat politik kekuasaan dan bisa dijadikan alat untuk menekan hak-hak masyarakat,” katanya mengingatkan.
Menurut Bambang, hendaknya revisi UU Polri harus disusun untuk membangun kepolisian sebagai institusi negara yang profesional, modern, berintegritas, transparan dan akuntabel.
Bambang pun mencatat, ada beberapa poin penting dalam revisi undang-undang tersebut, di antaranya pemisahan kewenangan antara peran kepolisian sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (publik security service), dan private security service.
“Ini penting diatur agar tidak memunculkan kerancuan tugas pokok dan fungsi kepolisian dengan sektor swasta di luar kepentingan publik,” ujarnya.
Yang kedua, lanjut dia, adalah soal anggaran operasional Polri yang tidak ada dalam Pasal 2 Tahun 2002. Sama pentingnya mengingat lembaga negara yang seharusnya semua dibiayai oleh APBN.
Dengan tidak adanya pasal yang mengatur anggaran operasional Polri, kata Bambang, dampaknya Korps Bhayangkara bisa mendapatkan biaya dari non APBN melalui hibah, baik pemerintah maupun swasta.
“Ini rawan konflik kepentingan, bilamana pihak pemberi hibah terlibat masalah hukum, maupun abuse of power melalui pungli,” kata Bambang.
Catatan ketiga, adalah penguatan sistem kontrol dan pengawasan eksternal. Di mana peran lembaga pengawas kepolisian yakni Kompolnas yang harusnya makin diperkuat dengan penambahan jumlah wakil dari masyarakat yang juga dilibatkan dalam penegakan etik dan disiplin anggota Polri.
“Selain memberi masukan pada Presiden terkait pemilihan Kapolri, maupun memberikan masukan pada arah kebijakan Polri,” kata Bambang.
Bambang juga mengingatkan media tidak terbawa arus perdebatan yang tidak penting seperti usia pensiun dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat ke depan.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sumi Dasco Ahmad mengatakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dilakukan untuk menyamakan batas usia pensiun dengan penegak hukum lainnya.
“Revisi Undang-Undang Polri harus memprioritaskan kebutuhan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan institusi Polri belaka,” kata Bambang dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Menurut Bambang, mengikuti perkembangan sosial budaya dan teknologi yang cepat, UU Nomor 2 Tahun 2002 yang berusia 20 tahun sudah selayaknya direvisi, disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Revisi kata dia, selain selain menjadi salah satu bentuk evaluasi pasal-pasal yang belum tercantum dalam undang-undang tersebut.
Namun, beredarnya draft revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 yang membahas soal penambahan kewenangan dan perpanjangan usia pensiun anggota Polri, hal itu menurut dia, sangat tidak subtantif pada kebutuhan masyarakat di masa depan.
“Bahkan hanya mengaburkan substansi-substansi yang lebih penting terkait revisi UU Polri,” ujarnya.
Tidak hanya itu, lanjut dia, penambahan kewenangan Polri tanpa diiringi sistem kontrol dan pengawasan yang kuat maupun perpanjangan usia pensiun berpotensi menjadi alat hegemoni kekuasaan pada lembaga tersebut.
“Ini bahaya, karena lembaga negara yang diberikan kewenangan penegakan hukum bisa dijadikan alat politik kekuasaan dan bisa dijadikan alat untuk menekan hak-hak masyarakat,” katanya mengingatkan.
Menurut Bambang, hendaknya revisi UU Polri harus disusun untuk membangun kepolisian sebagai institusi negara yang profesional, modern, berintegritas, transparan dan akuntabel.
Bambang pun mencatat, ada beberapa poin penting dalam revisi undang-undang tersebut, di antaranya pemisahan kewenangan antara peran kepolisian sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (publik security service), dan private security service.
“Ini penting diatur agar tidak memunculkan kerancuan tugas pokok dan fungsi kepolisian dengan sektor swasta di luar kepentingan publik,” ujarnya.
Yang kedua, lanjut dia, adalah soal anggaran operasional Polri yang tidak ada dalam Pasal 2 Tahun 2002. Sama pentingnya mengingat lembaga negara yang seharusnya semua dibiayai oleh APBN.
Dengan tidak adanya pasal yang mengatur anggaran operasional Polri, kata Bambang, dampaknya Korps Bhayangkara bisa mendapatkan biaya dari non APBN melalui hibah, baik pemerintah maupun swasta.
“Ini rawan konflik kepentingan, bilamana pihak pemberi hibah terlibat masalah hukum, maupun abuse of power melalui pungli,” kata Bambang.
Catatan ketiga, adalah penguatan sistem kontrol dan pengawasan eksternal. Di mana peran lembaga pengawas kepolisian yakni Kompolnas yang harusnya makin diperkuat dengan penambahan jumlah wakil dari masyarakat yang juga dilibatkan dalam penegakan etik dan disiplin anggota Polri.
“Selain memberi masukan pada Presiden terkait pemilihan Kapolri, maupun memberikan masukan pada arah kebijakan Polri,” kata Bambang.
Bambang juga mengingatkan media tidak terbawa arus perdebatan yang tidak penting seperti usia pensiun dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat ke depan.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sumi Dasco Ahmad mengatakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dilakukan untuk menyamakan batas usia pensiun dengan penegak hukum lainnya.