Jakarta (ANTARA) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menargetkan seluruh perusahaan anggotanya sudah bersertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada tahun mendatang.
"Komitmen ini kami harapkan mampu memperkuat keberterimaan ISPO sebagai standar keberlanjutan di dunia internasional," kata Ketua Umum Gapki Joko Supriyono di Jakarta, Selasa.
Saat ini sudah ada sebanyak 67 persen atau 502 perusahaan anggota Gapki telah meraih sertifikasi ISPO. Ditargetkan pada akhir tahun 2020, seluruh anggota sudah sertifikasi ISPO.
Hal itu ia ungkapkan di sela deklarasi Gapki dalam mendukung sertifikasi ISPO. Deklarasi itu dibacakan Joko dan para pengurus Gapki di sela-sela acara penyerahan sertifikat ISPO.
Sertifikasi ISPO sebagai standar wajib tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Hal itu dinilai sangat penting untuk menjawab berbagai tuduhan miring terhadap sektor sawit, sehingga daya saing industri sawit di pasar internasional semakin meningkat.
"Kalau sudah bersertifikat ISPO berarti perkebunan sawit tersebut sudah clear and clean,” tegas Joko.
Selain melalui percepatan dan penguatan sertifikasi ISPO, pemerintah juga bisa membantu menyelesaikan permasalahan atau tantangan lain yang sedang dihadapi oleh industri kelapa sawit.
Salah satunya tantangan kebijakan di dalam negeri, sehingga lebih harmonis mendorong kemajuan industri sawit nasional. Pihaknya pun berharap, agar sertifikasi ISPO menciptakan sentimen positif bagi industri kelapa sawit.
Sementara itu, Ketua Sekretariat ISPO Aziz Hidayat mengatakan, hingga Agustus 2019 telah ada sebanyak 566 sertifikat ISPO yang terdiri dari 556 perusahaan, 6 koperasi swadaya dan 4 KUD plasma. Luas total lahan yang telah tersertifikasi ISPO adalah 5,2 juta hektare.
"Tingkat kepatuhan pekebun untuk memenuhi sertifikasi ISPO juga semakin baik. Ini hal yang sangat menggembirakan bagi kami,” jelasnya.
Aziz mengakui tantangan dalam mencapai target sertifikasi ISPO tidak ringan. Berbagai tantangan tersebut, terutama untuk perkebunan rakyat, diantaranya aspek kepemilikan lahan yang masih berupa surat keterangan tanah.
Kemudian tantangan lainnya, yakni adanya indikasi masuk kawasan hutan, pengurusan STDB (surat tanda daftar budidaya), keengganan membentuk koperasi pekebun hingga masalah pendanaan.
"Permasalahan-permasalahan tersebut perlu mendapat perhatian serius,” tegasnya.