Jakarta (ANTARA) - Gerimis berderai di Le Bourget, membasahi ratusan pesawat dalam berbagai ukuran dan fungsi. Airport Le Bourget, Prancis — berjarak sekitar 12km dari airport internasional Charles de Gaulle, Paris — adalah tempat Paris Airshow, pameran dirgantara terbesar dan terkemuka di dunia.
Paris Airshow berlangsung sejak 1909 hingga kini pada setiap tahun ganjil. Pesawat-pesawat penumpang terbaru dari Airbus maupun Boeing bersaing di pameran ini. Pesawat militer Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet dengan teknologi canggih, berlomba meyakinkan negara calon pembeli beli. Mereka memamerkan kemampuan di udara, bermanuver.
Saya berada di Le Bourget, Juni 1989. Le Bourget menggigil dalam dingin, gerimis, dan deru pesawat-pesawat besar, termasuk pesawat pembunuh: MiG-29, F-16, Hawk, juga Sukhoi. Perang Dingin antara Blok Barat yang dikomandani Amerika Serikat dengan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet, mewarnai Paris Air Show dari tahun ke tahun.
Kali ini, Paris Air Show 1989 diwarnai tragedi. Pesawat tempur andalan Uni Soviet, MiG-29, gagal melakukan atraksi udara. Ribuan pengunjung, Minggu (8/6/1989) pagi itu, siap-siap dengan kamera, mengabadikan atraksi MiG-29 yang memang ditunggu. Namun, pada ketinggian sekitar 500 kaki, mesin kanan jet kehilangan tenaga dan berbalik arah menghunjam ke tanah. Dua detik sebelum pesawat jatuh, pilot Anatoly Kvochur melompat dengan parasutnya dan jatuh di area berumput. Dia selamat. Pengunjung tepuk tangan atas keselamatannya.
Habibie dan N-250
Selain lapangan udara dan berbagai atraksi pesawat, terutama pesawat tempur, Paris Air Show ini juga memamerkan berbagai peralatan pesawat, roda, aksesoris, hingga mock-up pesawat. Pameran berada di ruang tertutup. Di sini juga ada sejumlah restoran dan berbagai pernik, di antaranya gantungan kunci, topi, jaket, dan kaos.
Di ruang lain sedikit terpisah, ada ruang untuk konferensi pers. Para pemimpin Airbus, Boeing, dan pabrikan lain, menggunakan ruangan ini untuk menjelaskan teknologi pesawat produksi mereka. Menteri Riset dan Teknologi/Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Prof DR Ing BJ Habibie mengadakan jumpa pers di sini, Sabtu (7/6/89). Ruangan yang menampung lebih seratus wartawan itu, penuh sesak.
Pak Habibie menjelaskan tentang rencana pembuatan pesawat baru produksi IPTN. Pesawat baru itu, N-250, dirancang merebut pasar di kelas 70 penumpang. Pesawat ini murni produksi Indonesia, beda dengan CN-235 kerja sama dengan Casa, Spanyol.
Pesawat N-250 menggunakan mesin turboprop 2439, yang mampu terbang dengan kecepatan maksimal 610 km/jam (330 mil/jam) dan kecepatan ekonomis 555 km/jam. Ini merupakan pesawat dengan kecepatan tertinggi di dunia untuk kelas 50-70 penumpang. Ketinggian operasi pesawat ini juga mencapai 25.000 kaki (7620 meter) dengan daya jelajah 1480 km.
Tidak itu saja. Pesawat yang direncanakan diproduksi pada 1995 ini, menggunakan teknologi fly by wire (FBW) pertama di dunia. Dengan sistem FBW ini, pengendalian pesawat menggunakan sinyal elektronik yang dikirim dari komputer pesawat.
Pak Habibie detail menjelaskan N-250 dan sistem terbaru itu. Wartawan manca negara sangat antusias. Berbagai pertanyaan dijawab Pak Habibie. Tangannya bergerak memperagakan manuver pesawat. Selesai jumpa pers sekitar satu jam, sejumlah wartawan — yang umumnya ahli teknologi pesawat — masih terus mewawancarai Pak Habibie yang sudah keluar ruangan.
Di kalangan wartawan dirgantara dan ilmuwan internasional, Pak Habibie sangat dikenal. Ia dijuluki Mr Crack karena menemukan rumus menghitung penyebab keretakan (crack) pesawat, terutama sayap — yang sebelumnya misterius dan menyebabkan pesawat jatuh. Temuan ini disebut Factor of Habibie, Prediction of Habibie, Method of Habibie, yang kini menjadi pelajaran wajib ilmu dirgantara dan buku pegangan prinsip-prinsip ilmu desain pesawat terbang standar NATO.
Tidak heran, di Paris Air Show, wartawan berupaya mewawancarai Pak Habibie seputar teknologi pesawat. Tubuhnya tenggelam di antara wartawan Eropa yang besar. Mereka memanggilnya “Rudy Habibie.. Rudy Habibie.”
Saya melihat antusiasme dan rasa hormat para wartawan itu. Dan, rasa bangga sebagai rakyat Indonesia, menyusup ke sanubari saya: Di sini Pak Habibie dihormati, di dalam negeri direndahkan.
Nasib N-250
Pak Habibie terus bekerja. Prototipe pesawat komersial N-250 mulai dikerjakan IPTN. Prof Ir Jusman Syafii Djamal ditunjuk sebagai Chief Project Engineer N-250, sedangkan Agung Nugroho menjadi Chief Aerodynamicist. Ratusan insinyur tamatan dalam dan luar negeri dilibatkan. Ini proyek murni putra-putra Indonesia.
Berbagai proses dilalui, termasuk tes tabrakan burung, terutama bagian depan sayap dan ekor pesawat. Burung-burung yang sudah dibius, ditembakkan dengan kecepatan tertentu ke pesawat. Pengujian ini sesuai persyaratan sertifikasi.
Selain itu juga dilakukan tes sambaran petir. Untuk tes ini, pesawat dihujani listrik tegangan 10 ribu volt. Kabel-kabel bertegangan tinggi di rentangkan di sekitar pesawat, simulasi electric clouds. Pengujian ini untuk mengetahui apakah sambaran petir mempengaruhi peralatan avionik pesawat saat di udara.
Semua proses dan tes berjalan lancar. Pada Kamis, 10 Agustus 1995, pesawat canggih dengan sistem fly by wire pertama di dunia dan menggunakan mesin turboprop ini pun terbang perdana. Pagi itu di lapangan udara Husein Sastranegara, Bandung, suasana tegang: apakah pesawat ini sukses terbang?
Presiden Soeharto dan Ibu Tien, Wakil Presiden Try Sutrisno, mantan Wapres Sudharmono, dan sejumlah menteri mengenakan jaket putih dan topi. Di jaket putih itu ditulis N-250 Firts Flight. Detik-detik bersejarah ini disiarkan langsung TVRI. Rakyat kota dan desa menyaksikan di kantor hingga warung kopi. Puluhan wartawan dalam dan luar negeri meliput peristiwa ini.
Tidak lama setelah tiba di panggung kehormatan, Pak Harto, Ibu Tien, Try Sutriso dan istri, Pak Habibie dan Ibu Ainun, menyalami pilot dan para crew yang akan menerbangkan N-250. Setelah itu, dengan naik bus khusus, mereka naik ke tower, menyaksikan Gatotkaca terbang.
Suasana menegangkan. Banyak yang berdoa terbang perdana ini berjalan lancar, namun ada juga yang berdoa sebaliknya. Pelan-pelan N-250 bergerak pelan dan melaju. Tepat pukul 10.15 WIB, roda depan N-250 terangkat dan pesawat terbang. Gema takbir dan tepuk tangan bergema. Pak Harto menyeka wajahnya dengan sapu tangan putih dan kemudian memeluk Habibie. Mata Ibu Tien terlihat berkaca-kaca saat memeluk Ibu Ainun. Suasana haru, bangga, dan rasa syukur berbaur. menjadi satu.
Di udara, N-250 yang dikemudikan Sumarwoto, Hindrawan Hari Wibowo, dan teknisi Yuares Riadi, terus terbang tinggi. Setelah 55 menit melayang tinggi, Gatotkaca — yang memiliki berat kosong 13.665 kg — mendarat mulus. Takbir dan tepuk tangan bergema. Anak-anak bangsa telah membuktikan bahwa kita bisa. Presiden Soeharto kemudian menetapkan 10 Agustus sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional.
Berita keberhasilan IPTN memproduksi dan menerbangkan N-250, tersebar luas di dunia. Pabrikan pesawat Eropa dan Amerika Serikat mulai waspada. Fokker Belanda, yang memproduksi pesawat sejenis, menjadi goyah. Saham mereka anjlok. Dua tahun kemudian, Fokker yang memprodukksi F-27 dan F-50, tutup.
Pak Habibie melakukan langkah-langkah besar. IPTN yang dipimpinnya menandatangani kerja sama dengan Boeing untuk pembangunan fasilitas dan pemasaran N-250 di Amerika Utara. Sejumlah gubernur negara bagian di AS, juga menyatakan siap menjadi lokasi pembuatan N-250.
Kini, tiba gilirannya Gatotkaca harus terbang lebih tinggi. Pada Paris Air Show 1997, Gatotkaca dengan keyakinan kuat, terbang ke Paris. Jarak tempuh sekitar 13.500 km dengan masa terbang 30 jam. Pesawat dikendalikan pilot Chris Sukardjono dan kopilot Sumarwoto. Pak Habibie, sebagai direktur utama IPTN tak ingin kerja tanggung. Pesawat kebanggaan Indonesia ini harus mampu bersaing di fora internasional, termasuk harus mendapatkan sertifikasi Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat.
Di Paris Air Show 1997, posisi IPTN semakin diperhitungkan setelah penerbangan pesawat tercanggih N-250. IPTN mendapatkan dua paviliun besar di depan menghadap landasan tempat atraksi pesawat, sejajar dengan Boeing dan Airbus Industries— dua pabrikan pesawat terkemuka di dunia.
Di dua paviliun itu, selain N-250, IPTN juga menampilkan CN-235 MPA, pesawat angkut versi militer, dan prototipe N-2130 pesawat bermesin jet ganda. N-2130 merupakan pesawat komersial dengan penumpang 130 orang. Rencananya, pesawat jet yang dalam tahap desain ini, akan diluncurkan pada 2003.
Ketua Tim Pembuat N-2130, Ilham Habibie menyebutkan pada 1998 pesawat ini memasuki tahap prelimenary design, kemudian proses detail design. Pada 1999-2000, pesawat N-2130 memasuki tahap assembly, selanjutnya uji sertifikasi dan roll-out. Pada 2002, pesawat jet ini dijadwalkan terbang perdana. Setahun kemudian, pengiriman kepada pembeli.
Namun, seperti porselen diempaskan, semua rencana IPTN itu pecah berkeping-keping. International Monetary Fund (IMF) yang mengempaskannya. Bermula dari krisis ekonomi 1997 yang terus berlanjut. Nilai rupiah merosot hingga 42 persen. Situasi ini mendorong gerakan poitik. Menghadapi situasi yang semakin memanas dan ekonomi yang memburuk, Presiden Soeharto “takluk” atas IMF. Pada 15 Junuari 1998, Pak Harto menandatangani Letter of Intent (LoI), meminjam uang dengan berbagai syarat. Indonesia praktis menjadi “pasien” IMF.
Salah satu syarat IMF untuk mengucurkan pinjaman senilai 43 miliar dolar AS adalah penghentian pembiayaan pengembangan pesawat N250 dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Artinya, IPTN diamputasi. Semua program N-250 berantakan.
Tidak hanya itu. Jumlah pegawai-pegawai handal IPTN terpaksa dikurangi dari 16 ribu, tersisa 4 ribu. Mereka yang terkena rasionalisasi, karena memiliki kemampuan, justru ditampung di Boeing, Airbus, dan berbagai pabrikan pesawat di Spanyol, Brasil, dan sejumlah negara lain. Nama IPTN kemudian diubah menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI) — yang entah apa urgensinya.
Seakan ada konspirasi menghancurkan IPTN. Ini antara lain, pembahasan draft LoI IMF, sama sekali tidak melibatkan Pak Habibie — yang saat itu Wakil Presiden. Sedangkan menteri-menteri lain dilibatkan.
"Saat pencoretan N-250 itu, saya sebagai Wakil Presiden tidak diikutsertakan, sedangkan seluruh jajaran kabinet dilibatkan. Padahal, di situ saya berkepentingan," papar Pak Habibie dalam jumpa pers Wirausaha Muda Mandiri Award and Expo 2013 di Jakarta, Kamis (17/1/2017).
Pak Habibie sangat terpukul, marah, dan sedih. Kebanggaan Indonesia — yang dibangun bertahun-tahun dan susah payah— hancur dalam tempo singkat. Pak Habibie mengalah, bahkan saat menjadi presiden menggantikan Pak Harto, LoI IMF tetap dijalankan untuk menjaga Indonesia. Bagi Pak Habibie berlaku prinsip: lebih baik mementingkan satu hal yang dicintai daripada satu hal yang disukai.
"Keputusan itu untuk Indonesia, saya mencintai rakyat. Saya mengalah asal Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap satu. Tidak seperti Rusia yang pecah," tutur Habibie.
Industri strategis dan canggih itu berlalu begitu saja. Memperjuangkannya untuk bangkit kembali, tentu sangat tidak mudah. Bangsa ini lebih suka menjadi budak daripada menjadi pemilik. Bangsa ini lebih nyaman menjadi konsumen daripada produsen. Kita membiarkan kondisi ini: Menghancurkan daripada membangun.
Rabu (11/09/2019) usai adzan Magrib, Pak Habibie pergi untuk selamanya, membawa semua impiannya, gagasan besarnya, dan juga kepedihan. Pak Habibie sendiri ...
*) Asro Kamal Rokan adalah wartawan senior, pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Merdeka (1992-1993), Pemimpin Redaksi Harian Republika (2003-2005), dan Pemimpin Umum LKBN ANTARA (2005-2007)