Jakarta (ANTARA) - Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian menyebutkan sedikitnya ada 50 tanaman herbal, yang ada di Indonesia, memiliki potensi dikembangkan sebagai antivirus.
Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Balitbangtan Kementan Evi Savitri Iriani di Jakarta, Sabtu mengatakan Indonesia memiliki keragaman biodiversitas yang sangat tinggi, dengan menempati posisi ketiga di dunia dan ada sekitar 30 ribu tanaman yang sudah diidentifikasi.
Dari hasil studi literatur dan empiris, tambahnya, sekitar 10 ribu tanaman berpotensi sebagai sumber pengobatan serta beberapa tanaman memiliki kemampuan antivirus dan peningkat imunitas.
"Pada saat awal pandemi COVID-19, Balittro sudah mengidentifikasi dari berbagai sumber, publikasi dan empiris. Kami melihat ada sekitar 50 tanaman yang memiliki potensi dilihat dari bahan aktif yang dikandungnya serta potensi untuk pengembangannya," kata Evi melalui keterangan tertulis.
Menurut dia, kriteria untuk pengembangan tanaman tersebut adalah cocok ditanam di Indonesia, dapat meningkatkan kesejahteraan petani, kemudahan untuk mengakses bahan baku, serta tingkat efektivitas terhadap virus atau penyakit lain.
Tanaman tersebut dibagi dalam dua jenis yaitu tanaman yang mengandung flavanoid/alkaloid dan essential oil.
"Untuk tanaman yang mengandung flavanoid biasanya digunakan metode ekstraksi, sementara untuk yang mengandung aroma terapi kita menggunakan metode distilasi," ujarnya.
Tahapan pemanfaatan herbal sebagai antivirus, lanjutnya, membutuhkan waktu yang sangat panjang mulai dari studi literatur/empiris, isolasi bahan aktif, studi bioinformatika, uji in vitro, uji in vivo, uji praklinis, hingga uji klinis tahap 1 hingga tahap 4.
Secara umum, suatu tanaman herbal dianggap memiliki kemampuan sebagai antivirus dilakukan melalui banyak mekanisme di antaranya menghambat sintesis RNA dan bereaksi dengan membran virus, merusak sebagian envelop virus, menghambat replikasi dan anti-hemaglutinasi, serta menghambat penetrasi virus pada sel melalui modulasi struktur permukaan virus.
"Selain itu, memiliki kemampuan untuk memproduksi antibodi yang nantinya bertugas untuk membunuh virus yang masuk ke dalam sel," ujarnya.
Evi menerangkan Balittro telah memiliki beberapa kandidat tanaman rempah dan obat yang berpotensi untuk pandemi COVID-19, di antaranya pala, lada, cengkeh, kayu manis, kapulaga, kunyit, temulawak, sambiloto, dan meniran.
Selain itu juga atsiri yang berasal dari tanaman serai wangi, eucalyptus, kayu putih, rosemary, dan peppermint.
Atsiri lebih banyak berasal dari jenis cajuput yaitu Melaleuca cajuput (M leucadendra). Cajuput dikenal sebagai pengobatan turun temurun untuk mengurangi masuk angin, perut kembung, flu, gigitan serangga serta memberi rasa hangat pada tubuh.
Sebagaimana eucalyptus, cajuput juga memiliki kemampuan antivirus dan antimikroba karena memiliki kandungan cineol 1,8 bervariasi antara 40-70 persen.
Sementara itu, Kepala Balitbangtan Fadjry Djufri menyatakan pihaknya terus mendorong beberapa unit pelaksana teknis (UPT) yang ada di Balitbangtan untuk terus mencoba mencari potensi dari sekian banyak pangan lokal dan obat herbal yang bisa memberikan solusi-solusi untuk menekan perkembangan COVID-19.
Balitbangtan melalui Balittro, Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet), serta Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian (BB Pascapanen) telah mengembangkan prototipe produk antivirus berbasis eucalyptus yang diluncurkan pada awal Mei 2020 dan telah dilakukan kerja sama dengan PT Eagle Indo Pharma untuk komersialisasi produk tersebut.