Tamiang Layang (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Barito Timur Kalimantan Tengah melimpahkan berkas perkara tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh oknum Aparatur Sipil Negara berinisial MHK (56) berprofesi sebagai bidan dan honorer berinisial MS (30) selaku pengguna jasa aborsi ke Pengadilan Negeri Tamiang Layang.
"Benar, JPU telah melimpahkan dua berkas perkara berikut barang buktinya ke pengadilan Selasa (28/7) kemarin," kata Kajari Bartim Roy Rovalino Herudiansyah melalui Kasi Intelijen Arief Zein di Tamiang Layang, Rabu.
Dijelaskan Arief, perkara aborsi tersebut dilimpahkan dengan dakwaan alternatif, dimana untuk terdakwa MHK pertama Pasal 194 jo Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan atau Kedua Pasal 348 ayat (1) KUHP sedangkan untuk terdakwa MS Pertama Pasal 194 jo Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan atau Kedua Pasal 346 KUHP.
Seperti diketahui sebelumnya, penyidik Polres Barito Timur telah mengungkap adanya praktek aborsi yang dilakukan oleh seorang oknum bidan senior di tempat tinggal atau tempat prakteknya di Rumah Jabatan Dinas Kesehatan Puskesmas Pasar Panas, Kecamatan Benua Lima Rabu (18/3) lalu.
Praktek aborsi dilakukan terdakwa tidak berdasar alasan medis atau yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan melainkan akibat hubungan gelap terdakwa dengan saksi PCS yang berstatus PNS di Bartim.
Baca juga: Seorang bidan di Bartim diamankan diduga lakukan praktik aborsi ilegal
"Undang Undang Kesehatan pada prinsipnya melarang setiap orang melakukan aborsi, namun demikian terdapat hal-hal mengecualikan larangan tersebut, seperti adanya indikasi kedaruratan medis yang diketahui sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu atau janin.
Kemudian dikecualikan juga apabila ada menderita penyakit genetik yang berat, cacat bawaan maupun keadaan yang membuat bayi sulit hidup di luar kandungan. Bahkan boleh melakukan aborsi apabila kehamilan tersebut akibat dari perkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korban," terang Arief.
Pria yang hobby bermain catur ini menambahkan, meskipun terdapat keadaan yang mengecualikan larangan aborsi, namun tetap harus dilaksanakan pada fasilitas kesehatan yang mumpuni seperti Rumah Sakit melalui tahapan dan prosedur yang telah ditetapkan.
"Ya tidak mungkin di tempat praktek bidan juga, harusnya dilaksanakan pada fasilitas kesehatan yang mumpuni seperti rumah sakit," demikian Arief.
Terpisah, MS (30) mengatakan, PCS diduga terlibat dalam praktek aborsi. Menurutnya, dalam kesaksiannya dihadapan penyidik telah disampaikan beberapa bukti percakapan lewat pesan WhatsApps dengan PCS.
Baca juga: Polisi tetapkan oknum bidan tersangka aborsi ilegal di Bartim
“Dalam pesan itu, Dia (PCS) menyuruh ke bidan dan mengirim sejumlah uang. Rincian pengiriman dana yakni Rp3 juta untuk pertama kali dan Rp2 juta untuk kedua kalinya,” katanya.
Dengan adanya perintah dan uang, MS mengaborsi kandungan dikediaman MHK dan terjadi pendarahan hingga pingsan. Saat itu, PCS datang dan MHK melihat kedatangan PCS. Karena adanya pendarahan, MS dibawa ke salah satu rumah sakit di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan.
“PCS juga membantu Rp3 juta dari biaya pengobatan sebesar Rp11 juta,” kata MS.
Setelah ditetapkan tersangka, MS tidak bisa menghubungi PCS karena pemblokiran pesan dan panggilan. Kini MS menyesali perbuatannya dan meminta keadilan yang seadil-adilnya terhadap PCS.
“PCS yang meminta saya ke bidan dan saya diberi uang. Saya minta PCS bisa diproses hukum sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Saya merasa saya hanya menjadi korban,” kata MS.
Hingga kini PCS belum bisa dikonfirmasi. Saat dihubungi melalui telepon genggam pribadi, PCS masih belum bisa terhubung.
Baca juga: Polisi tetapkan oknum honorer Pemkab Bartim jadi tersangka aborsi ilegal