DPRD Barut: Warga kelola lahan puluhan tahun, namun ditetapkan sebagai kawasan hutan

id hasrat,dprd barito utara,kawasan hutan,tora,barut,barito utara,kalteng

DPRD Barut: Warga kelola lahan puluhan tahun, namun ditetapkan sebagai kawasan hutan

Anggota DPRD Barito Utara Hasrat bersama pimpinan RDP Taufik Nugraha dan Ketua Komisi III DPRD Tajeri saat memimpin rapat terkait kawasan hutan di ruang rapat DPRD setempat, Muara Teweh, Selasa (7/10/2025). ANTARA/Dokumen Pribadi

Muara Teweh (ANTARA) - DPRD Kabupaten Barito Utara menggelar rapat dengan pendapat (RDP) terkait permasalahan tumpang tindih lahan antara kawasan hutan dan lahan milik masyarakat setempat.

Rapat tersebut dipimpin Ketua Komisi II DPRD Barito Utara Taufik Nugraha didampingi Ketua Komisi III DPRD Barito Utara Tajeri dan Ketua Fraksi Aspirasi Rakyat Hasrat dan dihadiri oleh instansi terkait, termasuk Kantor Pertanahan (BPN) Kabupaten Barito Utara serta Dinas PUPR Barito Utara dan para camat di Muara Teweh, Selasa.

Dalam rapat tersebut, anggota DPRD Barito Utara Hasrat menyoroti banyaknya masyarakat yang secara adat telah membuka dan mengelola lahan selama puluhan tahun, namun kini mendapati wilayah mereka ditetapkan sebagai kawasan hutan.

"Masyarakat tidak tahu apakah itu hutan produksi, APL (areal penggunaan lain atau tanah bukan hutan) atau HPK (hutan produksi yang dapat di konversi). Yang penting, menurut adat, siapa yang pertama kali membuka lahan, maka dialah pemiliknya," ujar Hasrat.

Ia mencontohkan Desa Jamut, yang sejak lama berdiri dan warganya telah memiliki sertifikat tanah yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, namun belakangan diketahui masuk dalam kawasan hutan produksi.

“Dulu APL, bisa disertifikatkan, tapi setelah keluar SK baru malah jadi hutan produksi. Ini yang harus dicarikan solusinya,” tegasnya.

Ia juga menambahkan, kondisi tersebut tidak hanya membingungkan masyarakat, tetapi juga berdampak pada pembangunan daerah dan program kompensasi lahan.

"Warga sudah 10–20 tahun tinggal dan berkebun di sana. Ketika mau dibayar ganti rugi karena terkena proyek, ternyata tidak boleh, karena statusnya kawasan hutan," ungkapnya.

Hasrat juga kembali menegaskan pentingnya langkah konkrit dari pemerintah daerah. Ia mendorong agar penyelesaian dilakukan melalui program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dengan melibatkan pemerintah desa dan kecamatan.

"Data kepemilikan dari masyarakat harus diakomodir. Desa bisa mendata, kecamatan memverifikasi, lalu kabupaten menyampaikan ke KLHK. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi dianggap melanggar aturan, padahal mereka sudah lama hidup dan berusaha di lahan itu," kata Hasrat.


Pewarta :
Uploader : Admin 2
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.