Jakarta (ANTARA) - Anak-anak yang terpapar tontonan tidak sesuai dengan usianya rentan mengalami stres akibat produksi hormon adrenalin dan kortisol yang lebih banyak, kata spesialis kedokteran Jiwa dr. Feilin Tanita dari Universitas Sebelas Maret Surakarta. Anak-anak dapat mengalami stres saat menonton atau main game mengenai kekerasan atau horor, konten yang patut diwaspadai oleh orangtua saat mendampingi buah hati.
"Anak belum bisa membedakan mana akting dan kenyataan, otak menganggap itu nyata dan direspons sebagai bahaya," kata Feilin yang juga menjabat Ketua Bhayangkari Cabang Manokwari dalam Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia Pusat di kota Sorong, Papua Barat, Rabu.
Karena menganggap apa yang ditonton sebagai bahaya, otak anak kemudian memproduksi hormon adrenalin dan kortisol yang lebih banyak. Kadar adrenalin yang banyak dan berkepanjangan bisa mengganggu hampir semua proses di dalam tubuh.
Baca juga: Seorang pemerkosa anak kabur usai divonis 200 bulan penjara oleh MA
Anak jadi berdebar-debar karena detak jantung lebih cepat, tekanan darahnya tinggi, ada peningkatan lemak dalam darah, peningkatan gula darah juga pembekuan darah yang lebih cepat sehingga menimbulkan plak. Kadar adrenalin yang terlalu banyak juga merangsang tiroid, menimbulkan gangguan pencernaan, gangguan tidur, gelisah dan depresi hingga penurunan konsentrasi serta daya ingat.
Oleh karena itu, dia mengajak orangtua untuk senantiasa mendampingi buah hatinya dalam menonton televisi dan memastikan konten yang dikonsumsi sesuai dengan usianya. Ada beberapa isi acara televisi yang patut diwaspadai, kata dia, seperti kekerasan dalam film, sinetron atau berita, konten pornografi, konten berisi kejahatan di mana tokoh jahat kerap lebih sering dieksoloitasi dibandingkan orang baik sampai acara mistis.
Orangtua juga perlu untuk memastikan agar buah hati tidak terjebak dalam pola menonton yang membuatnya ketagihan dan ketergantungan. Sebagai contoh, buatlah kesepakatan dengan buah hati soal jadwal menonton, acara yang bisa dinikmati dan durasi menonton televisi.
"Dampingi anak saat menonton sehingga orangtua bisa memberi pemahaman tentang kepura-puraan dalam film. Diskusikan juga pesan moral yang bisa menambah kehangatan dan komunikasi anak serta orangtua," kata dia.
Manfaatkanlah media televisi sebagai sumber belajar, mendapatkan informasi, membangun sportivitas lewat acara-acara olahraga dan memberikan hiburan.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang Kelembagaan, Hardly Stefano Pariela mengatakan, penonton akan mendapatkan konten yang lebih beragam setelah perpindahan sistem dari analog ke digital, termasuk siaran-siaran yang ditujukan khusus untuk penonton anak.
"Saluran spesifik untuk anak terus kami dorong, tetapi yang sudah ada harus terus diawasi dan orangtua perlu tetap mendampingi anak," kata Hardly.
Baca juga: Anak yang kurus juga bisa terkena diabetes
Baca juga: Cara tingkatkan kedekatan antara orang tua dan anak
Baca juga: Kedekatan anak dan ayah bisa pengaruhi pemilihan pasangan hidup
"Anak belum bisa membedakan mana akting dan kenyataan, otak menganggap itu nyata dan direspons sebagai bahaya," kata Feilin yang juga menjabat Ketua Bhayangkari Cabang Manokwari dalam Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia Pusat di kota Sorong, Papua Barat, Rabu.
Karena menganggap apa yang ditonton sebagai bahaya, otak anak kemudian memproduksi hormon adrenalin dan kortisol yang lebih banyak. Kadar adrenalin yang banyak dan berkepanjangan bisa mengganggu hampir semua proses di dalam tubuh.
Baca juga: Seorang pemerkosa anak kabur usai divonis 200 bulan penjara oleh MA
Anak jadi berdebar-debar karena detak jantung lebih cepat, tekanan darahnya tinggi, ada peningkatan lemak dalam darah, peningkatan gula darah juga pembekuan darah yang lebih cepat sehingga menimbulkan plak. Kadar adrenalin yang terlalu banyak juga merangsang tiroid, menimbulkan gangguan pencernaan, gangguan tidur, gelisah dan depresi hingga penurunan konsentrasi serta daya ingat.
Oleh karena itu, dia mengajak orangtua untuk senantiasa mendampingi buah hatinya dalam menonton televisi dan memastikan konten yang dikonsumsi sesuai dengan usianya. Ada beberapa isi acara televisi yang patut diwaspadai, kata dia, seperti kekerasan dalam film, sinetron atau berita, konten pornografi, konten berisi kejahatan di mana tokoh jahat kerap lebih sering dieksoloitasi dibandingkan orang baik sampai acara mistis.
Orangtua juga perlu untuk memastikan agar buah hati tidak terjebak dalam pola menonton yang membuatnya ketagihan dan ketergantungan. Sebagai contoh, buatlah kesepakatan dengan buah hati soal jadwal menonton, acara yang bisa dinikmati dan durasi menonton televisi.
"Dampingi anak saat menonton sehingga orangtua bisa memberi pemahaman tentang kepura-puraan dalam film. Diskusikan juga pesan moral yang bisa menambah kehangatan dan komunikasi anak serta orangtua," kata dia.
Manfaatkanlah media televisi sebagai sumber belajar, mendapatkan informasi, membangun sportivitas lewat acara-acara olahraga dan memberikan hiburan.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang Kelembagaan, Hardly Stefano Pariela mengatakan, penonton akan mendapatkan konten yang lebih beragam setelah perpindahan sistem dari analog ke digital, termasuk siaran-siaran yang ditujukan khusus untuk penonton anak.
"Saluran spesifik untuk anak terus kami dorong, tetapi yang sudah ada harus terus diawasi dan orangtua perlu tetap mendampingi anak," kata Hardly.
Baca juga: Anak yang kurus juga bisa terkena diabetes
Baca juga: Cara tingkatkan kedekatan antara orang tua dan anak
Baca juga: Kedekatan anak dan ayah bisa pengaruhi pemilihan pasangan hidup