Yang harus dilakukan saat penciuman hilang akibat COVID-19

id gejala COVID 19,Yang harus dilakukan saat penciuman hilang akibat COVID-19,gejala corona

Yang harus dilakukan saat penciuman hilang akibat COVID-19

Ilustrasi (Pixabay)

Jakarta (ANTARA) - Di antara sederet gejala COVID-19, kehilangan kemampuan untuk membaui atau anosmia menjadi salah satunya. Lalu adakah yang bisa pasien lakukan untuk membantu kembali bisa menghirup bau?

"Yang paling baik rehabilitasi penciuman misalnya mencium sesuatu seperti minyak kayu putih. Jadi kita rangsang saraf lagi saraf-sarafnya untuk bisa beregenerasi supaya anosmianya menjadi perbaikan," ujar dokter spesialis paru, Sylvia Sagita Siahaan dalam sesi bincang Dokter Menjawab dengan tema "Positif Covid 19 Harus Ngapain?" yang digelar daring pada Kamis (21/1) malam.

Peneliti anosmia Eric Holbrook, yang juga direktur rinologi di Massachusetts Eye and Ear mengatakan, pasien dapat mencoba pelatihan aroma yakni menemukan bau yang kuat dan menghirupnya sambil berfokus pada seperti apa aroma itu seharusnya.

Beberapa penelitian menunjukkan, orang-orang mengalami peningkatan kemampuan mencium dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah menjalani pelatihan penciuman.

"Tidak semua orang merespons hal yang sama. Ini sesuatu yang non-invasif dan mudah dilakukan dan disarankan," tutur Holbrook seperti dikutip dari Prevention, Jumat.

Baca juga: Perlukah pasien COVID-19 bergejala ringan konsumsi vitamin hingga antivirus?

Pasien bisa mengumpulkan beberapa aroma yang kuat misalnya kayu manis, mint, jeruk, wewangian mawar dan cengkih. Lalu tarik napas selama 10- 20 detik sambil memikirkan seperti apa aromanya.

Ahli otolaryngologi di Mount Sinai Hospital, New York, Alfred Iloreta beberapa waktu lalu memulai uji klinis untuk melihat apakah mengonsumsi minyak ikan membantu memulihkan indra penciuman.

Asam lemak omega-3 yang ditemukan dalam minyak ikan dapat melindungi sel saraf dari kerusakan lebih lanjut atau membantu meregenerasi pertumbuhan saraf.

"Jika Anda tidak bisa membaui atau rasa, Anda akan kesulitan makan apa pun dan itu adalah masalah kualitas hidup yang sangat besar. Pasien saya, dan orang yang saya kenal yang kehilangan baunya, benar-benar hancur karenanya," kata Iloreta seperti dikutip dari The New York Times.

Studi dalam Journal of Internal Medicine pada Januari 2021 menemukan, hampir 86 persen dari 2.581 pasien COVID-19 yang diteliti kehilangan membaui dan mengecap akibat virus corona.

Baca juga: Bosan terukurung selama pandemi sebabkan perceraian kian marak di Brasil

Dokter spesialis penyakit menular di Northeast Ohio Medical University, Richard Watkins seperti dikutip dari Prevention, menjelaskan, anosmia terjadi sebagai efek samping virus yang berkembang biak di hidung dan tenggorokan.

Virus dapat menyebabkan peradangan dan pembengkakan di saluran hidung sehingga menyebabkan hidung tersumbat, menurunkan indra Anda dalam prosesnya.

Tetapi mengapa gejala ini tak kunjung hilang pada beberapa orang belum sepenuhnya bisa dipahami para ahli.

"Reseptor virus telah ditemukan di lapisan khusus rongga hidung yang berisi saraf penciuman yang pertama kali mendeteksi bau di udara. Meskipun reseptor ini belum ditemukan pada saraf itu sendiri, kerusakan di sekitarnya kemungkinan besar menyebabkan hilangnya bau," tutur Holbrook.

Anosmia biasanya akan membutuhkan waktu untuk enyah, bisa berbulan-bulan dan umumnya berbeda-beda antar pasien. Para peneliti menemukan sekitar 15 persen belum bisa memulihkan indra perasa dan penciuman mereka 60 hari setelah infeksi, sementara hampir 5 persen berada dalam situasi yang sama hingga enam bulan kemudian.

Sylvia mengatakan, para dokter yang menangani COVID-19 akan bekerja sama dengan dokter spesialis THT dalam kasus anosmia. Penanganannya bisa tergantung derajat kerusakan saraf yang diakibatkan virus.

"Kami bekerja sama dengan dokter THT, karena saluran napasan atas memang dipegang THT juga. Biasanya memang tergantung derajat kerusakannya karena yang dirusak sarafnya," demikian kata dia.

Baca juga: Penjelasan terkait ditemukan COVID-19 pada es krim

Baca juga: Menggunakan dua masker untuk cegah COVID-19, ide bagus atau buruk?

Baca juga: Gejala COVID-19 masih mengintai pasien sembuh selama enam bulan