200 dai dan khatib sepakat lawan intoleransi di Surabaya
Surabaya (ANTARA) - Sebanyak 200 orang dai, khatib, dan perwakilan ormas Islam menghadiri silaturahmi di Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, Kamis, untuk berkomitmen melawan intoleransi dan radikalisme.
"Silaturahmi ini untuk memperkuat Islam Wasathiyah untuk mewujudkan Indonesia damai dan cinta tanah air," kata Kanit I Kontra Ideologi Direktorat Pencegahan Densus 88 AT Polri AKBP Moh. Dofir dalam sambutannya.
Silaturahmi kali ini digelar Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri bersinergi dengan Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Pemkot Surabaya, dan instansi lainnya.
Menurut Dofir, radikalisme merupakan lahan subur untuk berkembangnya kejahatan terorisme dan salah satu indikator yang menjadi bibit radikalisme, yaitu intoleransi.
"Sikap intoleransi merupakan bentuk pengingkaran terhadap kebinekaan dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila maupun norma-norma agama yang beradab," kata dia.
Dofir menyebutkan salah satu hal yang sangat mendasar untuk memerangi terorisme dan radikalisme adalah mengembangkan sikap toleransi dan menghilangkan eklusifisme kelompok.
Ia mengemukakan strategi kontraradikalisme adalah masyarakat umum, pelajar, dan tokoh masyarakat dengan bertujuan menanamkan nilai keindonesiaan dan nilai kedamaian.
"Strategi mencegah intoleransi bisa kampanye toleransi, pembinaan sikap toleransi yang terintegrasi dan penanaman nilai luhur ideologi Pancasila dan budaya literasi," katanya.
Upaya dalam mencegah radikalisme secara mandiri dengan menanamkan jiwa nasionalisme, berpikir terbuka dan toleransi, waspada terhadap provokasi dan hasutan, berjenjang dalam komunitas perdamaian.
"Kegiatan ini sangat strategis karena memang para dai dan khatiblah yang terjun langsung di lingkungan masyarakat untuk mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat anak bangsa di mana pun berada untuk berani dengan tegas mencegah paham intoleransi dan radikalisme," ujar Dofir.
Oleh karena itu, kata Dofir, seluruh elemen masyarakat harus memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama untuk membangun kehidupan dengan ruang wasyatiyah, ruang toleransi, dan ruang saling menghargai itu harus terus-menerus secara bersama.
"Jika para khatib tidak ada kontrol dalam menyampaikan materi, menjadi ancaman yang serius bagi negara," ujar dia.
Maka dari itu, Dofir mengingatkan peran sentral para khatib Jumat sebagai agen narasi agama yang moderat bahwa khatib memiliki otoritas dalam menasihati dan mengarahkan jemaah Jumat agar menghindari pemikiran dan perilaku yang mencederai persaudaraan beragama, persaudaraan berbangsa, dan persaudaraan kemanusiaan.
"Maka sangat efektif dalam meredam berita-berita hoaks di media, ujaran kebencian, dan adu domba antarsesama elemen bangsa," kata dia.
Acara tersebut dihadiri oleh Sekretaris Daerah Kota Surabaya Hendro Gunawan, Kepala Kantor Kemenag Surabaya beserta Forkopimda Surabaya. Acara dilanjutkan dengan pemberian materi dari Guru Besar UIN Sunan Ampel Nur Syam, Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, dan Rektor UNISKA Kediri Ali Maschan Moesa, dan eks narapidana teroris Miftahul Munif.
"Silaturahmi ini untuk memperkuat Islam Wasathiyah untuk mewujudkan Indonesia damai dan cinta tanah air," kata Kanit I Kontra Ideologi Direktorat Pencegahan Densus 88 AT Polri AKBP Moh. Dofir dalam sambutannya.
Silaturahmi kali ini digelar Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri bersinergi dengan Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Pemkot Surabaya, dan instansi lainnya.
Menurut Dofir, radikalisme merupakan lahan subur untuk berkembangnya kejahatan terorisme dan salah satu indikator yang menjadi bibit radikalisme, yaitu intoleransi.
"Sikap intoleransi merupakan bentuk pengingkaran terhadap kebinekaan dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila maupun norma-norma agama yang beradab," kata dia.
Dofir menyebutkan salah satu hal yang sangat mendasar untuk memerangi terorisme dan radikalisme adalah mengembangkan sikap toleransi dan menghilangkan eklusifisme kelompok.
Ia mengemukakan strategi kontraradikalisme adalah masyarakat umum, pelajar, dan tokoh masyarakat dengan bertujuan menanamkan nilai keindonesiaan dan nilai kedamaian.
"Strategi mencegah intoleransi bisa kampanye toleransi, pembinaan sikap toleransi yang terintegrasi dan penanaman nilai luhur ideologi Pancasila dan budaya literasi," katanya.
Upaya dalam mencegah radikalisme secara mandiri dengan menanamkan jiwa nasionalisme, berpikir terbuka dan toleransi, waspada terhadap provokasi dan hasutan, berjenjang dalam komunitas perdamaian.
"Kegiatan ini sangat strategis karena memang para dai dan khatiblah yang terjun langsung di lingkungan masyarakat untuk mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat anak bangsa di mana pun berada untuk berani dengan tegas mencegah paham intoleransi dan radikalisme," ujar Dofir.
Oleh karena itu, kata Dofir, seluruh elemen masyarakat harus memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama untuk membangun kehidupan dengan ruang wasyatiyah, ruang toleransi, dan ruang saling menghargai itu harus terus-menerus secara bersama.
"Jika para khatib tidak ada kontrol dalam menyampaikan materi, menjadi ancaman yang serius bagi negara," ujar dia.
Maka dari itu, Dofir mengingatkan peran sentral para khatib Jumat sebagai agen narasi agama yang moderat bahwa khatib memiliki otoritas dalam menasihati dan mengarahkan jemaah Jumat agar menghindari pemikiran dan perilaku yang mencederai persaudaraan beragama, persaudaraan berbangsa, dan persaudaraan kemanusiaan.
"Maka sangat efektif dalam meredam berita-berita hoaks di media, ujaran kebencian, dan adu domba antarsesama elemen bangsa," kata dia.
Acara tersebut dihadiri oleh Sekretaris Daerah Kota Surabaya Hendro Gunawan, Kepala Kantor Kemenag Surabaya beserta Forkopimda Surabaya. Acara dilanjutkan dengan pemberian materi dari Guru Besar UIN Sunan Ampel Nur Syam, Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, dan Rektor UNISKA Kediri Ali Maschan Moesa, dan eks narapidana teroris Miftahul Munif.