Jakarta (ANTARA) - Pakar bedah onkologi lulusan Universitas Indonesia dr Walta Gautama Said Tehuwayo, Sp.B.Subsp.Onk(K) mengatakan bahwa pasien kanker bisa mengonsumsi hidangan dingin usai kemoterapi demi mencegah efek seperti muntah.
"Abis kemoterapi makan yang dingin-dingin. Dia (pasien) muntah jangan dikasih air hangat," kata dia di Jakarta, Rabu.
Walta berkisah kerabatnya yang terkena kanker kolon atau usus mengaku terus menerus muntah usai dikemoterapi. Dia lalu menyarankan kerabatnya itu menyantap hidangan dingin misalnya yang dijajakan pedagang di dekat rumah semisal es cincau atau cendol.
Baca juga: Kurangi risiko kanker dengan empat menit aktivitas intens
Sang kerabat lalu menuruti saran Walta dan setelahnya dia mengaku tak lagi muntah setelah dikemoterapi.
"Orang yang mau dikomoterapi, mual dan muntah, yang penting kemoterapi pertama dan kedua (tidak muntah), tiga empat lima aman. Cara atasinya, selama dikemo banyak ngunyah supaya dia (organ pencernaan) kerja, saya suruh potongin buah kecil-kecil, es krim," jelas Walta.
Dia mengatakan kemoterapi biasanya diberikan setiap tiga minggu, karena rata-rata sel kanker mampu membelah kira-kira 20 sampai 100 hari. Oleh karena itu, dia mengingatkan pasien tak terlambat melakukan kemoterapi alias sesuai jadwal.
Kemoterapi merupakan pemberian zat kimia tertentu pada pasien kanker guna membunuh atau menghambat perkembangan sel kanker. Pengobatan ini dikatakan dapat menimbulkan efek samping dan bisa berbeda antara masing-masing pasien, seperti mual, muntah, diare, rambut rontok, kehilangan selera makan, kelelahan, demam, luka di mulut, nyeri, sembelit, dan mudah memar.
Pada beberapa kasus kemoterapi bisa menimbulkan masalah yang lebih serius meskipun ini jarang terjadi, misalnya terjadi penurunan pada sel darah putih dengan cepat sehingga dapat menimbulkan risiko terjadi infeksi sehingga dapat mengalami sakit yang lebih parah.
Namun, tak semua pasien kanker harus menjalani kemoterapi, tapi dengan melakukan terapi lainnya sesuai dengan sifat kanker.
"Orang dengan stadium yang sama, umur yang sama, belum tentu terapinya sama. Itulah yang disebut personalized medicine," demikian kata Walta.
Baca juga: HER2-positif jadi jenis kanker payudara yang lebih agresif
Baca juga: Seks oral jadi faktor risiko kanker tenggorokan?
Baca juga: Benarkah kompor gas pancarkan zat pemicu kanker?
"Abis kemoterapi makan yang dingin-dingin. Dia (pasien) muntah jangan dikasih air hangat," kata dia di Jakarta, Rabu.
Walta berkisah kerabatnya yang terkena kanker kolon atau usus mengaku terus menerus muntah usai dikemoterapi. Dia lalu menyarankan kerabatnya itu menyantap hidangan dingin misalnya yang dijajakan pedagang di dekat rumah semisal es cincau atau cendol.
Baca juga: Kurangi risiko kanker dengan empat menit aktivitas intens
Sang kerabat lalu menuruti saran Walta dan setelahnya dia mengaku tak lagi muntah setelah dikemoterapi.
"Orang yang mau dikomoterapi, mual dan muntah, yang penting kemoterapi pertama dan kedua (tidak muntah), tiga empat lima aman. Cara atasinya, selama dikemo banyak ngunyah supaya dia (organ pencernaan) kerja, saya suruh potongin buah kecil-kecil, es krim," jelas Walta.
Dia mengatakan kemoterapi biasanya diberikan setiap tiga minggu, karena rata-rata sel kanker mampu membelah kira-kira 20 sampai 100 hari. Oleh karena itu, dia mengingatkan pasien tak terlambat melakukan kemoterapi alias sesuai jadwal.
Kemoterapi merupakan pemberian zat kimia tertentu pada pasien kanker guna membunuh atau menghambat perkembangan sel kanker. Pengobatan ini dikatakan dapat menimbulkan efek samping dan bisa berbeda antara masing-masing pasien, seperti mual, muntah, diare, rambut rontok, kehilangan selera makan, kelelahan, demam, luka di mulut, nyeri, sembelit, dan mudah memar.
Pada beberapa kasus kemoterapi bisa menimbulkan masalah yang lebih serius meskipun ini jarang terjadi, misalnya terjadi penurunan pada sel darah putih dengan cepat sehingga dapat menimbulkan risiko terjadi infeksi sehingga dapat mengalami sakit yang lebih parah.
Namun, tak semua pasien kanker harus menjalani kemoterapi, tapi dengan melakukan terapi lainnya sesuai dengan sifat kanker.
"Orang dengan stadium yang sama, umur yang sama, belum tentu terapinya sama. Itulah yang disebut personalized medicine," demikian kata Walta.
Baca juga: HER2-positif jadi jenis kanker payudara yang lebih agresif
Baca juga: Seks oral jadi faktor risiko kanker tenggorokan?
Baca juga: Benarkah kompor gas pancarkan zat pemicu kanker?