Sampit (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah berupaya memaksimalkan akses air bersih di wilayah selatan agar warga tidak perlu lagi turun ke sungai untuk MCK (mandi, cuci dan kakus) sehingga meminimalkan risiko serangan buaya.
"Program kami agar akses air bersih itu sampai ke wilayah selatan, salah satunya masyarakat itu tidak turun lagi ke sungai untuk mandi, mencuci dan lainnya. Rencana ini juga akan sampai ke wilayah seberang," kata Bupati Kotim Halikinnor di Sampit, Senin.
Dia pun menegaskan Pemkab Kotim berkomitmen menuntaskan penyediaan sarana air bersih PDAM di seluruh kawasan, karena air merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat, baik itu untuk minum, memasak, mencuci, mandi dan lainnya.
Disamping itu, penyediaan sarana air bersih diharapkan juga memberikan dampak lain bagi masyarakat yang bermukim di bantaran sungai agar tidak perlu lagi turun ke sungai untuk MCK, khususnya pada wilayah yang rawan serangan buaya.
"Untuk saat ini jaringan air bersih PDAM sudah sampai Desa Parebok Kecamatan Teluk Sampit, kami bertekad untuk melanjutkan sampai ke desa paling ujung, yakni Ujung Pandaran dan rencana selanjutnya Kecamatan Pulau Hanaut," bebernya.
Selain itu, Halikinnor mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengusulkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar bisa membangun penangkaran atau tempat penampungan buaya dengan menganggarkan melalui APBD untuk penyediaan pakannya.
Dengan diberikan pakan yang cukup, diharapkan buaya-buaya itu tidak akan mencari mangsa yang lain. Kasus serangan buaya selama ini diduga lantaran satwa itu tidak mendapat pakan yang cukup di alam, karena kerusakan habitat dan lainnya. Kondisi tersebut mendorong satwa itu untuk mencari mangsa hingga masuk ke kawasan pemukiman dan menyerang manusia.
"Harapan kita dengan diberi pakan buaya itu tidak akan menyerang manusia, karena biasanya binatang itu kalau kenyang tidak akan mencari mangsa lain. Selain itu, saya mengimbau warga kalau malam tidak beraktivitas di sungai, karena pada waktu itu buaya sering muncul," demikian Halikinnor.
Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resort Sampit selama 2010 - 2025 tercatat ada 52 kasus serangan buaya di wilayah Kotim, sembilan antaranya menyebabkan korban meninggal dunia. Sebagian besar kasus serangan buaya di Kotim terjadi di wilayah selatan, yakni Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Mentaya Hilir Selatan, Pulau Hanaut dan Teluk Sampit. Terutama yang berdekatan dengan muara Sungai Mentaya yang diketahui merupakan habitat alami buaya.
Meski demikian, tak sedikit masyarakat yang masih turun ke sungai untuk aktivitas sehari-hari karena keterbatasan fasilitas MCK. Seperti, warga di Kecamatan Pulau Hanaut yang belum terjangkau akses air bersih atau PDAM.
Baca juga: Pemkab Kotim siapkan lahan untuk pembangunan sekolah rakyat
Disisi lain, Camat Pulau Hanaut Dedi Purwanto menyampaikan bahwa pemerintah kecamatan maupun desa sudah gencar melakukan sosialisasi untuk memperingatkan warga agar waspada terhadap serangan buaya.
"Bangunan lanting atau jamban yang menjorok ke Sungai Mentaya juga hampir tidak ada lagi agar warga tidak lagi turun ke sungai, walaupun ada sebagian yang masih ke sungai dan kondisinya di sini buaya itu cukup banyak," ujarnya.
Lanjutnya, rata-rata warga setempat sudah tidak lagi MCK ke Sungai Mentaya dan menggunakan mesin pompa air untuk mengalirkan air ke rumah masing-masing lantaran tau akan risiko serangan buaya di wilayah tersebut.
Baca juga: Ratusan pelajar TK di Kotim meriahkan Gebyar PAUD 2025
Kendati begitu, ada juga yang masih turun ke sungai, khususnya anak Sungai Mentaya seperti Sungai Babaung, karena tidak memiliki fasilitas pendukung seperti pompa air dan ada juga yang mengira anak sungai lebih aman dari sungai utama.
Sementara itu, berkaitan dengan program air bersih, ia menyebut masih dalam proses untuk menentukan desa mana yang lebih dulu dibangun PDAM untuk sarana penyedia air bersih. Salah satunya Desa Rawa Sari, ada warga yang mau menghibahkan tanahnya untuk lokasi pembangunan PDAM.
"Kami berharap ini bisa segera terealisasi, karena selama ini warga di Desa Rawa Sari mengandalkan air hujan dan kalau musim kemarau sering krisis air bersih, sekaligus agar warga tidak perlu lagi turun ke sungai," demikian Dedi.
Baca juga: Kotim dapat bantuan cetak sawah 4.216 hektare
Baca juga: Bupati Kotim harap TKS dan Field Trip bantu tingkatkan produktivitas sawit
Baca juga: DLH Kotim respons cepat laporan dugaan pencemaran lingkungan