Sampit (ANTARA) - Sebuah mushalla bernama As Salam yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman km 71 Desa Terawan Kecamatan Seruyan Raya Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah, menjadi perhatian masyarakat karena desainnya unik dan menarik, serta berbahan limbah kayu ulin.
"Tadi ketika fotonya saya pasang di media sosial saya, banyak yang mengira ini di Jawa atau Bali. Mungkin karena melihat bentuk mushallanya mirip bangunan-bangunan lama yang ada di Jawa maupun Bali," kata Didi, salah seorang warga Sampit yang kebetulan singgah menunaikan shalat Zuhur di mushalla tersebut, Sabtu.
Sepintas terlihat dari luar, mushalla yang terletak di sisi ruas jalan Trans Kalimantan Poros Selatan yang menghubungkan Sampit dan Pangkalan Bun itu memang mirip bangunan-bangunan yang ada di Pulau Jawa dan Bali.
Hal itu terlihat dari gapura mengingatkan pada banyak bangunan di Pulau Jawa dan Bali, sementara itu atap mushalla bertingkat tiga mirip bangunan khas masjid kuno di Demak. Namun material mushalla ini didominasi kayu ulin. Pagar mushalla dibuat tidak terlalu tinggi sehingga bangunan masjid masih tetap terlihat secara utuh dari luar.
Cukup menarik karena ketika dilihat dari dekat, terdapat ornamen khas Dayak, salah satunya berupa telabang atau telawang dengan ukiran khas Dayak yang dipasang di kiri dan kanan gapura yang kokoh. Telawang merupakan sejenis perisai yang digunakan untuk perlindungan diri masyarakat Dayak.
Bau ciri khas kayu diselingi wangi mirip kayu gaharu tercium ketika memasuki gerbang yang mirip lorong pada gapura. Dari sini pemandangan unik mushalla ini semakin terlihat dan terasa.
Sebuah mushalla berkonstruksi kayu terlihat kokoh berdiri. Melihat secara dekat mushalla ini membuat jamaah diajak membayangkan suasana bangunan tradisional kerajaan-kerajaan di masa lalu.
Ukiran mushaf Al-Qur'an dari akar kayu ulin berada di sisi kanan pintu masuk mushalla. Sementara pada dinding kiri dan kanan mushalla terdapat empat jendela berukuran cukup besar.
Pemandangan yang sangat menarik, mushalla yang diresmikan pada 7 Juli 2017 ini sekitar 90 persen konstruksi bangunannya terbuat dari kayu ulin. Kayu dengan nama latin "eusideroxylon zwageri" atau biasa disebut kayu besi ini adalah salah satu kayu yang terkenal dan terkuat di habitatnya hutan Kalimantan.
Hal yang mengejutkan, sebagian besar ulin yang digunakan untuk pembangunan mushalla tersebut ternyata adalah limbah atau kayu ulin yang selama ini dinilai sudah tidak terpakai.
Basuki yang merupakan donatur pembangunan Mushalla As Salam menceritakan, mushalla tersebut dibangun di atas lahan seluas 25x22 meter. Bangunan luar mushalla berukuran 11x11 meter, sedangkan bagian dalam berukuran 7x7 meter dengan daya tampung berkisar 40 sampai 50 orang jamaah.
Pembangunan mushalla dengan desain menggabungkan ciri khas Jawa, Dayak dan Banjar. Basuki menyebutnya sebagai penggabungan Kebhinnekaan, bahkan dalam pelaksanaannya dia juga banyak dibantu rekan-rekannya yang merupakan nonmuslim.
Pembangunannya menggunakan limbah kayu ulin yang sebagian ditemukan di kawasan-kawasan bekas hutan. Sebagian ditemukan dengan menggali karena terpendam dalam tanah.
Limbah kayu ulin itu biasanya berupa akar pohon, sisa batang bekas tebangan di masa lalu maupun sisa-sisa pohon ulin bekas terbakar. Limbah ulin itu mereka angkut dan kumpulkan untuk dipilah dan dibentuk sedemikian rumah agar bisa dimanfaatkan menjadi bagian-bagian bangunan mushalla.
Basuki (kaos putih) donatur pembangunan Mushalla As Salam menunjukkan detail bagian dalam bangunan yang terbuat dari limbah kayu ulin, Sabtu (30/10/2021). ANTARA/Norjani
Seperti tiang-tiang mushalla tersebut memanfaatkan beberapa batang kayu ulin tua. Meski tidak lurus, ukuran batang tidak beraturan bahkan sebagian berlubang-lubang, namun diyakini masih cukup kuat untuk digunakan menjadi tiang penyangga.
Dinding mushalla menjadi salah satu bagian yang cukup unik dan menarik. Jika lazimnya dinding bangunan kayu menggunakan kepingan papan memanjang, dinding mushalla ini menggunakan potongan-potongan bulatan atau gelondongan kayu ulin yang disusun yang kemudian direkatkan menggunakan pasak kayu dan lem kayu.
Soal kekuatan dinding tidak perlu diragukan. Setiap keping bulatan batang ulin yang disusun menjadi dinding tersebut memiliki ketebalan masing-masing 10 cm. Total bulatan ulin yang digunakan sebanyak 897 keping.
"Pembangunannya memakan waktu sekitar tiga tahun. Ini juga masih ada beberapa bagian yang akan dilengkapi. Makanya kami mencari tukang yang tidak hanya hebat, tapi juga sabar," kata Basuki.
Basuki mengaku membangun mushalla itu untuk membantu umat Islam di kawasan itu maupun musafir yang mampir dan beristirahat sejenak. Makanya di bagian sisi halaman juga dibangun semacam pendopo yang bisa digunakan untuk pengajian dan majelis taklim, juga bisa dimanfaatkan musafir yang ingin beristirahat sejenak usai beribadah sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Pengusaha yang mengaku terlahir dari keluarga miskin di sebuah desa transmigrasi di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan itu tergerak membangun mushalla tersebut untuk menunaikan niatnya sejak lama.
Basuki mengaku usahanya sempat bangkrut bahkan dia memiliki hutang puluhan miliar. Dia bersyukur Allah memberikan jalan sehingga kini usahanya bisa bangkit. Untuk itu pula dia meniatkan membangun mushalla tersebut sebagai ibadah.
"Tujuannya untuk umat. Saya berusaha berbagi untuk kepentingan umum. Musafir, sopir maupun warga yang kebetulan melintas, silakan mampir shalat dan beristirahat di sini," kata Basuki.
Selama ini di Mushallah As Salam juga dilaksanakan pengajian rutin setiap malam Jumat, sedangkan setiap sore diisi dengan kegiatan anak-anak belajar membaca Al Qur'an.
Basuki berharap banyak kegiatan keagamaan yang dijalankan masyarakat setempat di mushalla tersebut secara kontinyu. Bahkan dia berharap nantinya bisa membangun madrasah di kawasan tersebut.
Baca juga: Berikut sejumlah tindakan melawan banyaknya konten negatif
"Tadi ketika fotonya saya pasang di media sosial saya, banyak yang mengira ini di Jawa atau Bali. Mungkin karena melihat bentuk mushallanya mirip bangunan-bangunan lama yang ada di Jawa maupun Bali," kata Didi, salah seorang warga Sampit yang kebetulan singgah menunaikan shalat Zuhur di mushalla tersebut, Sabtu.
Sepintas terlihat dari luar, mushalla yang terletak di sisi ruas jalan Trans Kalimantan Poros Selatan yang menghubungkan Sampit dan Pangkalan Bun itu memang mirip bangunan-bangunan yang ada di Pulau Jawa dan Bali.
Hal itu terlihat dari gapura mengingatkan pada banyak bangunan di Pulau Jawa dan Bali, sementara itu atap mushalla bertingkat tiga mirip bangunan khas masjid kuno di Demak. Namun material mushalla ini didominasi kayu ulin. Pagar mushalla dibuat tidak terlalu tinggi sehingga bangunan masjid masih tetap terlihat secara utuh dari luar.
Cukup menarik karena ketika dilihat dari dekat, terdapat ornamen khas Dayak, salah satunya berupa telabang atau telawang dengan ukiran khas Dayak yang dipasang di kiri dan kanan gapura yang kokoh. Telawang merupakan sejenis perisai yang digunakan untuk perlindungan diri masyarakat Dayak.
Bau ciri khas kayu diselingi wangi mirip kayu gaharu tercium ketika memasuki gerbang yang mirip lorong pada gapura. Dari sini pemandangan unik mushalla ini semakin terlihat dan terasa.
Sebuah mushalla berkonstruksi kayu terlihat kokoh berdiri. Melihat secara dekat mushalla ini membuat jamaah diajak membayangkan suasana bangunan tradisional kerajaan-kerajaan di masa lalu.
Ukiran mushaf Al-Qur'an dari akar kayu ulin berada di sisi kanan pintu masuk mushalla. Sementara pada dinding kiri dan kanan mushalla terdapat empat jendela berukuran cukup besar.
Pemandangan yang sangat menarik, mushalla yang diresmikan pada 7 Juli 2017 ini sekitar 90 persen konstruksi bangunannya terbuat dari kayu ulin. Kayu dengan nama latin "eusideroxylon zwageri" atau biasa disebut kayu besi ini adalah salah satu kayu yang terkenal dan terkuat di habitatnya hutan Kalimantan.
Hal yang mengejutkan, sebagian besar ulin yang digunakan untuk pembangunan mushalla tersebut ternyata adalah limbah atau kayu ulin yang selama ini dinilai sudah tidak terpakai.
Basuki yang merupakan donatur pembangunan Mushalla As Salam menceritakan, mushalla tersebut dibangun di atas lahan seluas 25x22 meter. Bangunan luar mushalla berukuran 11x11 meter, sedangkan bagian dalam berukuran 7x7 meter dengan daya tampung berkisar 40 sampai 50 orang jamaah.
Pembangunan mushalla dengan desain menggabungkan ciri khas Jawa, Dayak dan Banjar. Basuki menyebutnya sebagai penggabungan Kebhinnekaan, bahkan dalam pelaksanaannya dia juga banyak dibantu rekan-rekannya yang merupakan nonmuslim.
Pembangunannya menggunakan limbah kayu ulin yang sebagian ditemukan di kawasan-kawasan bekas hutan. Sebagian ditemukan dengan menggali karena terpendam dalam tanah.
Limbah kayu ulin itu biasanya berupa akar pohon, sisa batang bekas tebangan di masa lalu maupun sisa-sisa pohon ulin bekas terbakar. Limbah ulin itu mereka angkut dan kumpulkan untuk dipilah dan dibentuk sedemikian rumah agar bisa dimanfaatkan menjadi bagian-bagian bangunan mushalla.
Seperti tiang-tiang mushalla tersebut memanfaatkan beberapa batang kayu ulin tua. Meski tidak lurus, ukuran batang tidak beraturan bahkan sebagian berlubang-lubang, namun diyakini masih cukup kuat untuk digunakan menjadi tiang penyangga.
Dinding mushalla menjadi salah satu bagian yang cukup unik dan menarik. Jika lazimnya dinding bangunan kayu menggunakan kepingan papan memanjang, dinding mushalla ini menggunakan potongan-potongan bulatan atau gelondongan kayu ulin yang disusun yang kemudian direkatkan menggunakan pasak kayu dan lem kayu.
Soal kekuatan dinding tidak perlu diragukan. Setiap keping bulatan batang ulin yang disusun menjadi dinding tersebut memiliki ketebalan masing-masing 10 cm. Total bulatan ulin yang digunakan sebanyak 897 keping.
"Pembangunannya memakan waktu sekitar tiga tahun. Ini juga masih ada beberapa bagian yang akan dilengkapi. Makanya kami mencari tukang yang tidak hanya hebat, tapi juga sabar," kata Basuki.
Basuki mengaku membangun mushalla itu untuk membantu umat Islam di kawasan itu maupun musafir yang mampir dan beristirahat sejenak. Makanya di bagian sisi halaman juga dibangun semacam pendopo yang bisa digunakan untuk pengajian dan majelis taklim, juga bisa dimanfaatkan musafir yang ingin beristirahat sejenak usai beribadah sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Pengusaha yang mengaku terlahir dari keluarga miskin di sebuah desa transmigrasi di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan itu tergerak membangun mushalla tersebut untuk menunaikan niatnya sejak lama.
Basuki mengaku usahanya sempat bangkrut bahkan dia memiliki hutang puluhan miliar. Dia bersyukur Allah memberikan jalan sehingga kini usahanya bisa bangkit. Untuk itu pula dia meniatkan membangun mushalla tersebut sebagai ibadah.
"Tujuannya untuk umat. Saya berusaha berbagi untuk kepentingan umum. Musafir, sopir maupun warga yang kebetulan melintas, silakan mampir shalat dan beristirahat di sini," kata Basuki.
Selama ini di Mushallah As Salam juga dilaksanakan pengajian rutin setiap malam Jumat, sedangkan setiap sore diisi dengan kegiatan anak-anak belajar membaca Al Qur'an.
Basuki berharap banyak kegiatan keagamaan yang dijalankan masyarakat setempat di mushalla tersebut secara kontinyu. Bahkan dia berharap nantinya bisa membangun madrasah di kawasan tersebut.
Baca juga: Berikut sejumlah tindakan melawan banyaknya konten negatif