Revisi UU KPK dinilai cacat formil
Jakarta (ANTARA) - Lembaga swadaya masyarakat yang membidangi pengawasan hak asasi manusia, Imparsial menilai revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru disahkan DPR cacat formil.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan proses revisi UU KPK bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang pembentukan perundang-undangan.
"Revisi UU KPK cacat formil karena dilakukan tanpa proses yang partisipatif dan tidak termasuk dalam prolegnas prioritas tahun 2019," ujar Al Araf dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, pembahasan revisi UU KPK cenderung dilakukan secara tergesa-gesa. Padahal, kata dia, prinsip utama dalam pembuatan perundang-undangan harus dilakukan secara transparan dan partisipasif.
Al Araf menilai secara substansi UU KPK berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang sudah berjalan.
"Oleh karena itu, kami mendesak Presiden untuk segera menerbitkan Perppu (peraturan pemerintah pengganti Undang-undang) KPK sebagai upaya penyelamatan masa depan pemberantasan korupsi," kata dia.
Menurut dia, upaya menerbitkan Perppu KPK sangat mungkin dilakukan karena telah ada preseden hukum, ketika pada 2014 pemerintah menerbitkan Perppu tentang Pilkada yang membatalkan UU Pilkada yang sudah disahkan DPR karena mendapat penolakan dari masyarakat.
"Perppu KPK tersebut harus membatalkan UU KPK yang baru disahkan oleh DPR dan mengembalikan pengaturan tentang lembaga antirasuah tersebut kepada aturan hukum sebelumnya," ucap dia.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan proses revisi UU KPK bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang pembentukan perundang-undangan.
"Revisi UU KPK cacat formil karena dilakukan tanpa proses yang partisipatif dan tidak termasuk dalam prolegnas prioritas tahun 2019," ujar Al Araf dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, pembahasan revisi UU KPK cenderung dilakukan secara tergesa-gesa. Padahal, kata dia, prinsip utama dalam pembuatan perundang-undangan harus dilakukan secara transparan dan partisipasif.
Al Araf menilai secara substansi UU KPK berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang sudah berjalan.
"Oleh karena itu, kami mendesak Presiden untuk segera menerbitkan Perppu (peraturan pemerintah pengganti Undang-undang) KPK sebagai upaya penyelamatan masa depan pemberantasan korupsi," kata dia.
Menurut dia, upaya menerbitkan Perppu KPK sangat mungkin dilakukan karena telah ada preseden hukum, ketika pada 2014 pemerintah menerbitkan Perppu tentang Pilkada yang membatalkan UU Pilkada yang sudah disahkan DPR karena mendapat penolakan dari masyarakat.
"Perppu KPK tersebut harus membatalkan UU KPK yang baru disahkan oleh DPR dan mengembalikan pengaturan tentang lembaga antirasuah tersebut kepada aturan hukum sebelumnya," ucap dia.