Alat bukti harus disusun rapi saat hadapi sengketa pilkada

id Hakim MA,Kalteng,Sengketa Pilkada,Alat bukti harus disusun rapi saat hadapi sengketa pilkada,Wahiduddin Adams

Alat bukti harus disusun rapi saat hadapi sengketa pilkada

Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) menyerahkan kalung Hakim MK dari Hakim MK Wahiduddin Adams (kedua kiri) kepada Hakim MK yang baru Arsul Sani (kiri) saat pisah sambut Hakim MK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (18/1/2024). ANATARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/tom. (ANTARA FOTO/ASPRILLA DWI ADHA)

Jakarta (ANTARA) - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2019-2024 Wahiduddin Adams mengatakan para pihak yang bersengketa dalam Pilkada Serentak 2024 harus mempersiapkan dan menyusun alat bukti yang sah dan valid secara rapi di daftar bukti beserta fisiknya.



"Semua permohonan harus terarah. Kalau hendak mengatakan terjadi penggelembungan suara, harus jelas. Di tempat pemungutan suara (TPS) mana, oleh siapa, berapa suara. Dan semua harus disertai form C1," kata Wahiduddin dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.



Dia menilai semua itu akan membantu hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus permohonan dalam sengketa pilkada.



Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Konstitusi Andi Muhammad Asrun mengungkapkan sejumlah pola yang kerap terjadi dalam sengketa pilkada.



"Bagi pihak yang kalah, biasanya kuasa hukum mereka akan kalap di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, terkadang mereka akan mengungkapkan sejumlah gosip sebagai alat bukti. Padahal, namanya juga gosip bagaimana bisa dibuktikan," ujar Asrun.



Sebab, kuasa hukum pemohon berpandangan harus melayani sesuai keinginan pasangan yang kalah demi memenuhi prinsip gugur kewajiban.



"Mereka juga gencar menarasikan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif sebagai bumbu meski minim alat bukti. Semua sekadar biar keren," tambahnya.



Di sisi lain, kuasa hukum penyelenggara pemilu selaku termohon harus bersikap tenang dan teliti terhadap hal mendetail. Ketelitian itu untuk menilai kelayakan suatu permohonan yang diajukan pemohon.



"Baik dari sisi kewenangan, tenggang waktu, ambang batas, surat kuasa, pokok permohonan, serta persentase perolehan suara. Begitu ada yang tidak sesuai, harus ajukan eksepsi tanpa ragu. Karena, sering ada masalah di situ. Misalnya, ada saja persidangan untuk daerah X, ternyata isi permohonannya justru daerah Y. Ternyata, kuasa hukum pemohon yang menangani beberapa perkara hanya copy paste berkas yang ada," jelas Asrun.



Dalam eksepsi, sambung dia, kuasa hukum termohon harus memaparkan secara gamblang dan lugas kelemahan permohonan.



"Jangan karena ingin dianggap pintar, berlomba-lomba mengutip teori dan pendapat yang sebenarnya tidak terkait. Langsung saja ke pokok persoalan, Sehingga, hakim bisa lebih mudah memahami masalahnya dan langsung menyatakan dismissal," ucapnya.



Menurutnya, kuasa hukum pihak terkait sebenarnya bekerja lebih ringan, karena sebagian besar beban mereka akan diselesaikan oleh kuasa hukum penyelenggara pilkada.