Sampit (ANTARA) - Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah Alang Arianto akhirnya mengungkap penyebab Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit yang diterima Kotim pada 2025 turun drastis.
“Ada dua hal yang mempengaruhi produksi sawit pada 2024 menurun, sehingga wajar jika DBH Sawit yang kita terima pada 2025 ini pun ikut turun,” kata Alang di Sampit, Kamis.
Sebelumnya, Pemkab Kotim menerima surat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait DBH, khususnya untuk DBH Sawit Kotim pada 2025 hanya Rp16 miliar.
Nominal itu mengalami penurunan hingga 61 persen dibandingkan penerimaan 2024 lau, yakni Rp41 miliar. Hal ini pun sempat menjadi pertanyaan di kalangan pemerintah daerah setempat yang lalu mencoba meminta penjelasan dari kementerian terkait.
Kemudian, Alang menyampaikan berdasarkan hasil evaluasi pertumbuhan ekonomi belum lama ini di sektor pertanian, khususnya perkebunan kelapa sawit di Kotim justru mengalami penurunan, yaitu minus 0,19 persen.
“Pantas saja DBH sawit kita turun drastis, hanya Rp16 miliar di 2025, ternyata perkebunan kelapa sawit di daerah kita ada persoalan,” sebutnya.
Kondisi tersebut imbas dari penurunan produksi sawit yang disebabkan dua faktor. Pertama, banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan replanting atau kegiatan peremajaan tanaman kelapa sawit yang sudah tua dengan menanam tanaman baru.
Proses itu membuat produksi sawit menurun, karena tanaman baru belum bisa menghasilkan buah sawit yang bisa dipanen atau yang biasa disebut tanaman sawit belum menghasilkan (TBM).
Baca juga: Kotim tunggu realisasi bantuan cetak sawah
Kedua, maraknya konflik sosial antara perusahaan dan masyarakat juga memberikan dampak yang cukup besar. Adanya pemortalan hingga klaim lahan membuat perusahaan tidak bisa memanen sawit, sehingga produktivitas pun menurun.
“Sedangkan, DBH sawit itu pembagiannya dihitung dari produksi sawit yang dihasilkan di perkebunan kelapa sawit. Itulah permasalahan di bidang pertanian, khususnya perkebunan kelapa sawit di Kotim,” jelasnya.
Alang menambahkan, penurunan DBH sawit yang diterima Kotim tidak ada kaitannya dengan sejumlah perusahaan perkebunan yang belum menyelesaikan izin Hak Guna Usaha (HGU), karena DBH sawit dihitung dari pembagian hasil produksi.
HGU lebih kepada penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) daerah yang menjadi salah satu instrumen atau sumber pendapatan asli daerah (PAD).
Sementara itu, berdasarkan data 2024 tercatat luas tutupan kebun kelapa di Kotim mencapai 550.000 hektare lebih, termasuk lahan milik warga, dan ini menjadikan wilayah tersebut sebagai kabupaten dengan lahan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia.
Melihat potensi yang cukup besar itu, Pemkab Kotim bersama pemerintah daerah penghasil sawit lainnya memperjuangkan agar DBH sawit bisa dikucurkan langsung ke kabupaten/kota dalam guna menunjang program pembangunan daerah.
Upaya itupun membuahkan hasil, Kotim pertama kali menerima DBH sawit pada 2023 dengan nilai Rp46 miliar, 2024 Rp41 miliar dan 2025 hanya Rp16 miliar.
Penurunan DBH sawit ini cukup disayangkan, mengingat perjuangan pemerintah daerah untuk mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan perkebunan kelapa sawit agar bisa langsung masuk ke daerah cukup sulit dan panjang.
Baca juga: Bea Cukai Sampit musnahkan ratusan ribu rokok ilegal
Baca juga: DPRD Kotim minta penyusunan RKPD berpihak kepada masyarakat
Baca juga: Pemkab Kotim gandeng asosiasi UMKM meriahkan Gebyar Ramadhan