Aplikasi ini bisa bantu pilih bahan sushi berkualitas
Jakarta (ANTARA) - Berawal dari pengalaman membeli sushi tuna yang kurang lezat di supermarket, Kazuhiro Shimura punya ide menciptakan sistem kecerdasan buatan untuk memastikan sashimi pilihannya pasti enak di lidah.
Direktur di firma iklan Future Creative Center Grup Dentsu ini memikirkan konsep kecerdasan buatan "Tuna Scope" ketika menikmati ikan mentah sambil menonton acara televisi tentang penjual ikan yang menghabiskan satu dekade untuk menguasai kemampuan memilih tuna berkualitas untuk restoran sushi.
Tuna Scope, yang menggunakan algoritma untuk mempelajari data penilaian dari penjual, kini berevolusi menjadi aplikasi smartphone. Dilansir Reuters, klien bisa mengunduh dan menggunakannya di mana saja, menciptakan "standard penilaian terpadu" untuk industri yang membutuhkan keahlian tertentu, kata Shimura, yang bekerjasama dengan perusahaan Sojitz Corp untuk mempromosikan teknologi ini.
"Artinya, orang-orang bisa yakin mereka membeli tuna yang enak," kata Shimura di Misaki Megumi Suisan yang mengirimkan tuna dengan sertifikasi kecerdasan buatan ke luar negeri.
Ikan kualitas tertinggi, yang bisa mencapai berat 300 kilogram, telah terjual seharga 3 juta dolar di lelang tuna sebelumnya. Berdasarkan Organization for the Promotion of Responsible Tuna Fisheries, sekitar dua juta ton tuna dikonsumsi secara global per tahun, di mana Jepang menyumbang seperempat.
Sejak pandemi virus corona, penjual ikan dari Maladewa, Spanyol, AS, Taiwan dan tempat lain telah menghubungi Shimura mengenai Tuna Scope karena larangan perjalanan membuat mereka tak bisa mengunjungi pemasok untuk memeriksa kualitas tuna.
Di Misaki Megumi dekat Tokyo, salah satu pembeli bernama Shingo Ishii membuka aplikasi Tuna Scope ketika memeriksa nampan berisi ekor tuna, sementara pekerja lain menggunakan gergaji untuk memotong-motong tuna beku yang dikirim dari penjuru dunia. Kecerdasan buatan dalam aplikasi langsung melaporkan hasilnya dalam beberapa detik.
"Saya kira ini akan jadi alat yang lazim digunakan dalam 10 hingga 20 tahun mendatang," kata Ishii.
Namun, teknologi yang mempermudah pekerjaannya membuat hatinya campur aduk, karena di sisi lain keahlian memilih ikan berkualitas bakal lebih sulit diturunkan ke generasi berikutnya.
"Sejujurnya, saya pikir saya bisa mengalahkan kecerdasan buatan," kata dia.
Direktur di firma iklan Future Creative Center Grup Dentsu ini memikirkan konsep kecerdasan buatan "Tuna Scope" ketika menikmati ikan mentah sambil menonton acara televisi tentang penjual ikan yang menghabiskan satu dekade untuk menguasai kemampuan memilih tuna berkualitas untuk restoran sushi.
Tuna Scope, yang menggunakan algoritma untuk mempelajari data penilaian dari penjual, kini berevolusi menjadi aplikasi smartphone. Dilansir Reuters, klien bisa mengunduh dan menggunakannya di mana saja, menciptakan "standard penilaian terpadu" untuk industri yang membutuhkan keahlian tertentu, kata Shimura, yang bekerjasama dengan perusahaan Sojitz Corp untuk mempromosikan teknologi ini.
"Artinya, orang-orang bisa yakin mereka membeli tuna yang enak," kata Shimura di Misaki Megumi Suisan yang mengirimkan tuna dengan sertifikasi kecerdasan buatan ke luar negeri.
Ikan kualitas tertinggi, yang bisa mencapai berat 300 kilogram, telah terjual seharga 3 juta dolar di lelang tuna sebelumnya. Berdasarkan Organization for the Promotion of Responsible Tuna Fisheries, sekitar dua juta ton tuna dikonsumsi secara global per tahun, di mana Jepang menyumbang seperempat.
Sejak pandemi virus corona, penjual ikan dari Maladewa, Spanyol, AS, Taiwan dan tempat lain telah menghubungi Shimura mengenai Tuna Scope karena larangan perjalanan membuat mereka tak bisa mengunjungi pemasok untuk memeriksa kualitas tuna.
Di Misaki Megumi dekat Tokyo, salah satu pembeli bernama Shingo Ishii membuka aplikasi Tuna Scope ketika memeriksa nampan berisi ekor tuna, sementara pekerja lain menggunakan gergaji untuk memotong-motong tuna beku yang dikirim dari penjuru dunia. Kecerdasan buatan dalam aplikasi langsung melaporkan hasilnya dalam beberapa detik.
"Saya kira ini akan jadi alat yang lazim digunakan dalam 10 hingga 20 tahun mendatang," kata Ishii.
Namun, teknologi yang mempermudah pekerjaannya membuat hatinya campur aduk, karena di sisi lain keahlian memilih ikan berkualitas bakal lebih sulit diturunkan ke generasi berikutnya.
"Sejujurnya, saya pikir saya bisa mengalahkan kecerdasan buatan," kata dia.