Jakarta (ANTARA) - Usai sudah perjalanan tim nasional putri Indonesia U-17 di kancah Piala Asia putri U-17 2024 setelah melakoni tiga pertandingan di Bali.
Dari ketiga laga Grup A, hasil memilukan harus ditelan pasukan Mochizuki Satoru yakni kalah 1-6 dari Filipina, takluk 0-12 dari Korea Selatan, dan menyerah 0-9 dari Korea Utara.
Jika melihat proses dibentuknya tim untuk bersaing di ajang tersebut, tentu bukan pelatih Mochi ataupun para pemain yang layak disalahkan. Betapa tidak, tim tersebut baru dibentuk pada Maret dan harus memainkan pertandingan kompetitif pada Mei. Alias hanya dua bulan masa persiapan.
Faktor paling utama dari sulitnya membentuk timnas putri yang tangguh adalah ketiadaan kompetisi sepak bola putri. Dapat dilihat bahwa Liga 1 putri edisi terakhir adalah pada 2019, setelah itu nihil.
Contoh lain adalah penyelenggaraan cabang olahraga sepak bola putri di Pekan Olahraga Nasional. Pada PON terakhir, yakni PON XX Papua, sepak bola putri memang dipertandingkan, tetapi sejatinya nomor tersebut telah cukup lama absen.
Untungnya, pada PON XXI Aceh-Sumatera Utara, sepak bola putri rencananya akan kembali dimainkan.
Baca juga: Erick bakal bangun sepak bola putri dari bawah
Sejarah kompetisi sepak bola putri di Indonesia
Dari penelusuran yang dilakukan, klub asal Bandung, Putri Priangan, disepakati sebagai klub sepak bola putri pertama yang lahir di Indonesia. Klub tersebut lahir dengan didasari keresahan Wiwi Hadhi Kusdarti, yang kesulitan menemukan rekan bermain sepak bola.
Keresahan Wiwi kemudian disuarakan ke salah satu surat kabar papan atas Bandung, Pikiran Rakyat. Selain itu, ia juga menceritakan keresahannya kepada pendiri tim Putra Priangan dan beberapa rekan dekatnya yang mendukung rencananya untuk mendirikan tim sepak bola putri.
Lahirnya Putri Priangan ternyata memantik kelahiran tim-tim sepak bola putri lainnya. Di Jakarta, muncul Buana Putri besutan Dewi Wibowo, istri pengusaha koran Baratha Yudha. Jakarta tentu bukan satu-satunya daerah yang tergerak melahirkan tim sepak bola putri, selain Buana Putri asal Jakarta, ke depannya muncul pula tim Putri Pagilaran asal Pekalongan, Putri Mataram asal Yogyakarta, dan Sasana Bakti asal Surabaya.
Setelah kelahiran tim-tim sepak bola putri, maka mereka perlu diwadahi dengan adanya kompetisi resmi. Salah satu tonggak penting kompetisi sepak bola putri adalah Piala Kartini 1981 yang menjadi edisi perdana dengan melahirkan Buana Putri sebagai juaranya. Sebagai catatan, hanya ada empat tim peserta di turnamen Piala Kartini tersebut.
Pada 1982, turnamen yang diikuti lebih banyak peserta dibentuk PSSI dengan nama Liga Sepak bola Wanita (Galanita). Invitasi Galanita 1982 diikuti oleh oleh sembilan tim yakni Buana Putri, Putri Jaya (Jakarta), Putri Priangan, Putri Pagilaran, Putri Mataram (Yogyakarta), Mojolaban (Sukoharjo), Putri Setia (Surabaya), Anging Mamiri (Makassar), dan Putri Cendrawasih (Jayapura).
Turnamen Invitasi Galanita edisi perdana itu kemudian melahirkan Buana Putri sebagai juara setelah menang 4-0 atas Putri Pagilaran.
Baca juga: 30 nama pemain timnas putri senior disiapkan untuk FIFA Match Day
Kemerosotan kompetisi sepak bola putri
Sayang setelah sempat cukup diminati, kompetisi sepak bola putri merosot pada akhir 1980-an. Gabungan dari fokus PSSI kepada sepak bola putri, semakin populernya kompetisi Perserikatan dan Galatama, serta minimnya agenda sepak bola putri dari AFC membuat sepak bola putri semakin kesulitan.
Puncaknya adalah pembubaran Galanita pada 1993. Saat itu pendiri Buana Putri yang menjabat sebagai Ketua Umum Galanita, Dewi Wibowo, membubarkan kepengurusannya dan menyerahkannya kembali kepada PSSI.
Setelah absen sangat lama, PSSI pada 2019 silam sempat menghidupkan kompetisi bernama Liga 1 Putri. Terdapat 10 tim dari 18 klub Liga 1 yang membentuk tim untuk mengikuti Liga 1 Putri 2019, dan Persib Putri menjadi juara setelah menang agregat 6-1 atas Tira Persikabo Pertiwi.
Sempat muncul wacana bahwa PSSI akan menggelar Liga 1 Putri pada 2020 dan 2021, tetapi wacana itu urung terwujud karena pandemi COVID-19.
Absennya kompetisi di dalam negeri membuat sejumlah pesepak bola putri mencoba berkarier di luar negeri seperti Zahra Muzdalifah (Cerezo Osaka Ladies), Shakila Aurelia (Wangsa Maju City Football Club), atau seperti Shafira Ika Putri yang pernah mencoba trial ke klub Jepang FC Ryukyu Ladies. Contoh lain justru kemudian menjauh dari sepak bola profesional, misalnya Anggita Oktaviani, mantan bek Persija Putri yang kini terlihat lebih banyak menjalani perannya sebagai seorang ibu dan pesohor media sosial.
Baca juga: Timnas Indonesia U-17 belum mampu petik kemenangan di Piala Asia Putri
Baca juga: Pelatih timnas ungkap rasa percaya diri Garuda Pertiwi begitu tinggi
Baca juga: Timnas Indonesia putri dinilai akan berkembang di tangan Mochizuki
Secercah harapan
Di tengah rasa pesimistis melihat kondisi kompetisi sepak bola putri, masih tersisa secercah harapan. Di Kudus, Jawa Tengah, salah satu perusahaan raksasa Indonesia menginisiasi bergulirnya kompetisi sepak bola putri usia dini. Contoh terkini adalah digelarnya ajang Milklife Soccer Challenge pada Desember 2023, yang menyasar pemain-pemain tingkat Sekolah Dasar (SD).
Kompetisi serupa rencananya juga akan digelar di tujuh kota lain pada 2024 Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, dan Surabaya.
Keberadaan kompetisi, meski saat ini hanya digulirkan untuk tingkat SD, tetap layak diapresiasi. Kegembiraan bermain sepak bola dan upaya merawat ekosistem sepak bola putri harus dipertahankan demi menarik lebih banyak perempuan untuk menggeluti sepak bola putri.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir, setelah menyaksikan timnas putri U-17 dihabisi sembilan gol oleh Korut, juga menyatakan tekadnya untuk lebih memperhatikan sepak bola putri. Saat itu, Erick berkata bahwa pihaknya akan membangun sepak bola putri dari level nasional, kemudian turun ke level provinsi, dan lebih makro lagi untuk menjaring bakat-bakat sepak bola putri Indonesia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI) Souraya Farina juga menyebut bahwa PSSI telah berjanji akan menggelar Liga 1 Putri pada 2025. Sebelum kompetisi itu digelar, maka pihaknya akan menyelenggarakan kompetisi-kompetisi usia muda yakni U-13 dan U-15 terlebih dahulu.
Layak dinanti terwujudnya kompetisi sepak bola putri yang berkelanjutan di Indonesia. Sebab jika tidak ada kompetisi, dari mana pelatih Mochizuki atau siapapun pelatih timnas putri ke depannya, akan dapat menyusun tim inti?