Jakarta (ANTARA) - Menteri Perdagangan (Mendag) menegaskan bahwa seluruh biaya pemusnahan pakaian bekas asal impor tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan dibebankan pada importir yang bertanggung jawab.
Ia menjelaskan beban biaya yang ditanggung importir merupakan sanksi lantaran telah melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 20242 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Dilarang Impor.
"Yang dimusnahkan itu tidak pakai APBN. Jadi yang memusnahkan itu adalah importir. Jadi kita kenakan sanksi," ungkap Budi di Jakarta, Jumat.
Adapun sanksi yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) adalah menutup perusahaan distributor dan memusnahkan barang impor tersebut.
Budi mengatakan setiap importir yang kedapatan melanggar aturan harus menanggung sendiri seluruh konsekuensi hukum dan administratif, termasuk biaya pemusnahan barang.
"Dia yang harus memusnahkan. Nanti semua biaya dari importir," katanya.
Pemerintah telah menutup dua perusahaan yang terindikasi mengimpor pakaian bekas. Kedua perusahaan itu juga diwajibkan membiayai proses pemusnahan barang temuan hingga tuntas sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memilih untuk mencacah ulang pakaian dan tas bekas (balpres) impor ilegal dan menjual sebagiannya ke pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Dalam taklimat media, di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Jumat (14/11), Purbaya mengatakan cara pemusnahan baju impor ilegal selama ini tidak memberikan keuntungan bagi negara, justru membuat pemerintah mengeluarkan biaya.
Menurut Purbaya, untuk satu kontainer yang membawa balpres ilegal untuk dimusnahkan, biaya yang dikeluarkan oleh pihaknya mencapai Rp12 juta.
"Rugi. Habis itu masih beri makan orang yang ditahan. Rugi besar kita. Jadi, mau kami ubah," kata Purbaya.
