Jayapura (ANTARA
News) - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid mengemukakan guna
mengatasi konflik tanah di wilayah perbatasan Republik Indonesia dan
Papua Nugini (RI-PNG) di Skouw, Papua, agar diselesaikan secara adat dan
secara hukum.
"Masyarakat di perbatasan kedua negara masih satu suku dan saling
berinteraksi, sehingga penyelesaian konflik tanah harus diselesaikan
secara adat oleh masyarakat dan secara hukum oleh kedua negara," kata
Ahmad Farhan Hamid usai mengunjungi wilayah perbatasan RI-PNG di Skouw,
Papua, Kamis.
Delegasi MPR RI yang mengunjungi wilayah perbatasan RI-PNG dipimpin
Farhan Hamid dan beranggotakan antara lain, Wakil Ketua MPR RI
Hajriyanto Y Thohari dan Melani Leimena Suharli serta para pimpinan
fraksi di MPR RI.
Menurut Farhan Hamid, konflik tanah yang terjadi karena ada tanah
milik warga PNG di wilayah Indonesia dan sebaliknya ada tanah WNI yang
berada di wilayah PNG.
"Guna mengatasi persoalan ini, agar diselesaikan secara adat oleh
para kepala suku yang difasilitasi oleh pemerintah daerah di kedua
negara," katanya,
Ia menambahkan setelah diselesaikan secara adat, baru kemudian
diselesaikan secara hukum oleh pemerintah dari kedua negara, sehingga
persoalannya menjadi "clear".
Informasi yang diterima dari Konsul RI di Vanimo PNG Jaha Gultom,
semula pemerintah kedua negara sepakat membengun monumen di perbatasan
RI-PNG di Skouw sejak 2010, tapi belum terealisasi karena masih ada
status kepemilikan tanah yang belum "clear".
Apalagi, kata dia, Gubernur Provinsi Sandaun, PNG, Amkat May
merupakan figur yang sangat responsif untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan di wilayah perbatasan RI-PNG.
Sementara itu, katanya, Gubernur Papua yang baru terpilih, Lukas
Enembe, adalah figur yang memiliki komitmen untuk membangun wilayah
perbetasan, sehingga diharapkan persoalan tanah di wilayah perbatasan
bisa segera diselesaikan.
MPR: atasi konflik tanah di perbatasan RRI-PNG
Masyarakat di perbatasan kedua negara masih satu suku dan saling berinteraksi, sehingga penyelesaian konflik tanah harus diselesaikan secara adat oleh masyarakat dan secara hukum oleh kedua negara,"