Jakarta (ANTARA News) - Bulan Ramadhan selalu disambut gembira di Kesultanan Oman, negara dengan sekitar tiga juta penduduk di ujung Semenanjung Arab.
Siang hari, aktivitas warga di negara yang berbatasan dengan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yaman itu tidak menonjol karena selama Ramadhan ada penyesuaian jam kerja agar umat Islam bisa maksimal beribadah.
Menurut Muhammad Arifin dari Fungsi Sosial Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia di ibu kota Oman, Muscat, selama bulan suci jam kerja bermula pukul 07.30 dan berakhir pukul 13.00.
Dalam surelnya kepada ANTARA News, dia menjelaskan bahwa di negara itu kafe, restoran, dan tempat yang menjajakan makanan pada siang hari juga ditutup untuk menghormati orang yang berpuasa.
Tempat-tempat tersebut baru dibuka kembali menjelang Maghrib dan umumnya tutup pukul 01.00 dini hari.
Orang-orang non-muslim seperti para ekspaktriat jarang sekali terlihat makan atau minum di tempat umum selama bulan suci untuk menghormati Muslim yang berpuasa.
Selama bulan suci, kotak amal juga disediakan di pinggir jalan dan tempat-tempat umum seperti mal untuk memudahkan orang-orang bersedekah.
Di mal, kotak sumbangan penuh dengan benda-benda sumbangan yang baru dibeli oleh orang-orang di swalayan.
Hidangan pembuka
Hidangan buka puasa di Oman beragam, namun makanan yang disajikan biasanya adalah makanan yang dikonsumsi sehari-hari.
Makanan Oman umumnya sangat sederhana, dengan aneka varian rempah dan bumbu sebagai penyedap baku masakan ayam, ikan, dan daging kambing.
Tidak seperti banyak negara Asia lainnya, masakan Oman tidak pedas.
Variasi makanannya dipengaruhi oleh ragam masakan kawasan Timur Tengah dan India.
Makanan utamanya antara lain nasi (biryani) lengkap dengan sup, salad, kari, dan sayuran.
Sebagai hidangan penutup, biasanya tersaji makanan manis seperti halwa (semacam dodol) ditemani minuman kahwa (kopi Oman yang sangat populer), teh, laban (semacam buttermilk asin), atau minuman yoghurt.
Masyarakat pedesaan punya variasi menu yang berbeda.
Mereka mengonsumsi sakhana (sup manis dari gandum, kurma, sirup dan susu) dan fatta (daging dan sayuran dicampur dengan roti tipis khas Timur Tengah), serta shuwa (daging sapi/kambing berbumbu yang dimasak dalam oven bawah tanah, biasanya selama 24 jam).
Ketika maghrib tiba, setiap masjid mengadakan buka puasa bersama, tidak hanya menyediakan takjil, tapi juga makan besar dimana banyak orang makan senampan bersama.
"Setiap maghrib, masjid-masjid mengadakan buka puasa bareng, tapi enggak cuma ifthar, tapi juga makan besar seperti nasi mandhi, biryani," kata Budi Suwardoyo, Warga Negara Indonesia yang sudah empat tahun menetap di Muscat.
"Yang datang bisa ratusan orang dan makan bersama senampan besar," tuturnya.
Di Oman, ada juga orang-orang yang berjualan khusus ketika bulan puasa.
Makanan yang dijual beragam, mulai dari kudapan untuk berbuka puasa, kue-kue manis, dan gorengan seperti samosa.
Aktivitas ibadah
Masjid-masjid di Oman lebih semarak saat bulan Ramadhan. Kaum muslim berbondong-bondong datang untuk shalat berjamaah, terutama shalat Maghrib, Isya, dan Tarawih.
Lisye Lita, ibu rumah tangga yang sampai tahun ini sudah tiga kali merasakan Ramadhan di Muscat, mengatakan, suasana masjid lebih kondusif untuk beribadah karena ketenangannya dijaga.
Dia membandingkannya dengan suasana shalat Tarawih di sejumlah masjid di Jakarta yang sering diwarnai teriakan anak-anak kecil yang bermain atau berlarian kesana kemari.
"Di sini, ada masjid yang setahu saya tidak boleh dimasuki ibu-ibu yang membawa anak kecil. Tapi mereka diberi tempat khusus di luar," kata Lisye pada ANTARA News.
Di masjid Oman, perempuan dan laki-laki beribadah di bangunan yang terpisah.
Tidak semua masjid memiliki tempat untuk perempuan sehingga kaum hawa hanya datang ke masjid yang menyediakan tempat khusus.
Suasana di masjid sangat khusyuk, sembari menunggu waktu shalat, jamaah membaca Al Quran dan berdoa.
Menurut Arifin, KBRI Muscat yang beroperasi resmi sejak Februari 2011 biasanya mengadakan shalat Tarawih berjamaah setiap Ramadhan.
Namun tahun ini kegiatan tersebut ditiadakan karena banyak warga Indonesia, terutama tenaga kerja profesional, memilih cuti dan pulang ke Tanah Air saat bulan suci berlangsung.