Mahasiswa di Kalteng soroti tindakan refresif terhadap aktivis Indonesia

id Aliansi cipayung plus palangka raya dan kalimantan tengah, pmii pamekasan, aksi kekerasan, represif, oknum aparat, jawa timur, alfrit dody, gmki, hmi

Mahasiswa di Kalteng soroti tindakan refresif terhadap aktivis Indonesia

Aliansi Cipayung plus Kota Palangka Raya dan Kalimantan Tengah saat menyampaikan pernyataan sikap di Palangka Raya, Minggu, (28/6/2020). (ANTARA/Dokumentasi Pribadi)

Palangka Raya (ANTARA) - Kelompok mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Cipayung plus Kota Palangka Raya dan Kalimantan Tengah, menyoroti tindakan represif terhadap aktivis di Indonesia, salah satunya yang terjadi beberapa waktu lalu di Pamekasan, Jawa Timur.

Aliansi ini terdiri dari PC PMII Palangka Raya, PKC PMII Kalimantan Tengah, HMI Cabang Palangka Raya, DPC GMNI Palangka Raya, PMKRI Cabang Palangka Raya, GMKI Cabang Palangka Raya, IMM Cabang Palangka Raya, IMM Kalimantan Tengah, serta KMHDI Kalimantan Tengah.

"Kami menyampaikan pernyataan sikap terhadap tindakan represif yang dialami para mahasiswa yang tergabung pada PC PMII Pamekasan saat melakukan aksi turun ke jalan beberapa waktu lalu," kata Ketua GMKI Palangka Raya Alfrit Dody mewakili aliansi tersebut, Minggu.

Berdasarkan peristiwa tersebut, pihaknya menilai oknum aparat melakukan tindakan represif terhadap aksi massa secara berlebihan, sehingga melanggar statuta UU yang ada.

Menurutnya, hal itu telah diatur dalam UU no 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Deklarasi universal hak-hak asasi manusia yang menjamin kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat tanpa gangguan apapun, dengan cara apapun, serta dengan tidak memandang batas-batas.

Sekadar merefleksikan, dalam Peraturan Kapolri no 16 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas), sama sekali tidak menghendaki dan tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat melakukan tindakan represif.

"Artinya, seheboh apapun kondisinya (misalnya), segala tindakan pihak keamanan harus manusiawi, tidak boleh menyeret, mencekik, menginjak, memukul dan yang sifatnya premanisme," ungkapnya.

Dalam tugas dan kewajiban aparatur pemerintah sesuai UU sudah jelas dalam paragraf 3 pasal 13, bahwa dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tak bersalah dan menyelenggarakan pengamanan.

Maka segala yang terjadi di lapangan ketika aksi yang dilakukan oleh PC PMII Pamekasan dan tindakan yang dilakukan oknum aparat, tentu tidak dibenarkan dalam bentuk apapun.

"Untuk itu Cipayung plus Palangka Raya dan Kalimantan Tengah bermaksud menyampaikan beberapa tuntutan," ungkapnya.

Tuntutan tersebut diantaranya mengecam tindakan represif terhadap aktivis PMII di Pamekasan pada saat aksi massa, menuntut kepolisian menindak tegas oknum yang melakukan tindakan represif sesuai aturan hukum yang berlaku.

Meminta Kapolri mengevaluasi secara menyeluruh kinerja jajarannya, dalam hal penanganan aksi massa. Pasalnya, pihaknya menilai belakangan sering terjadi tindakan represif terhadap aksi massa.

Mendukung penuh upaya aktivis PMII Pamekasan untuk terus mengadvokasi kepentingan dan hajat hidup masyarakat, termasuk perihal penutupan tambang ilegal, hingga menuntut agar tindakan represif dalam penanganan aksi massa jangan sampai terjadi lagi di kemudian hari, termasuk di Kalimantan Tengah.