AS didesak hentikan politisasi agama
Fuzhou (ANTARA) - Asosiasi Islam Xinjiang, China, mendesak Amerika Serikat segera menghentikan politisasi isu-isu agama karena tidak sesuai fakta dijaminnya kebebasan beribadah di daerah otonomi yang mayoritas penduduknya beretnis Muslim Uighur itu.
Pernyataan tersebut tercantum pada bagian akhir laporan Asosiasi Islam Xinjiang yang dirilis pada Selasa untuk menanggapi tuduhan-tuduhan AS atas kebebasan beragama di daerah paling barat daratan Tiongkok itu.
Laporan mirip dengan buku putih tersebut terdiri dari empat bab yang mencakup kebebasan memeluk agama dijamin penuh oleh negara, aktivitas keagamaan berjalan dengan tertib, pencegahan ekstremisme berkedok agama, dan meningkatnya kerja sama asosiasi tersebut dengan organisasi Islam di dunia.
Puasa, pernikahan, permakaman, dan ritual ibadah lainnya sangat dihormati di Xinjiang. Restoran dan kantin makanan halal mudah dijumpai di kantor pemerintahan, instansi pelayanan publik, kantor swasta, dan sekolahan, demikian laporan tersebut.
Baca juga: Kanye West berutang jutaan dolar AS untuk kampanye calon presiden
Selama bulan suci Ramadhan tahun ini yang bersamaan dengan merebaknya COVID-19, pemerintah telah mengirimkan beberapa staf ke masjid-masjid untuk mengukur suhu tubuh anggota jamaah, membagikan masker, obat-obatan, disinfektan, teh, kopi, buah-buahan untuk sajian takjil.
Asosiasi juga telah melakukan publikasi terjemahan kitab suci Alquran dan hadis-hadis shahih Bukhari-Muslim dalam bahasa Mandarin, Uighur, Kazakh, dan Kirgiz.
Demikian halnya dengan buku-buku Islam kuno, seperti Tarikh Nabi, juga terdapat dalam katalog buku-buku langka di China.
Baca juga: China klaim masjid di Xinjiang lebih banyak dari Amerika
Pemerintah China juga telah mendonasikan pembangunan kampus Xinjiang Islamic Institute berikut delapan cabangnya di Urumqi, Ili, Changji, Turpan, Aksu, Kizilsu, Kashgar, dan Hotan yang nilainya lebih dari 100 juta yuan yang rampung secara keseluruhan pada September 2017.
Lembaga pendidikan Islam tersebut telah meluluskan 4.000 orang dari berbagai jenjang pendidikan mulai dari SMP, SMA, sarjana, hingga magister.
Dalam hal politik, lebih dari 1.400 tokoh dari berbagai etnik di Xinjiang telah ditunjuk sebagai perwakilan dan anggota Kongres Rakyat (DPR) dan Majelis Pertimbangan Politik Rakyat China (MPR) sehingga bisa menyampaikan aspirasi kelompok etnisnya kepada pemerintah.
Baca juga: Google blokir iklan pemilu setelah pemungutan suara ditutup
Masjid menjadi sangat penting bagi umat Islam dalam menjalankan perintah agama.
"Oleh karena itu kami sangat berterima kasih atas bantuan pemerintah untuk memperbaiki bangunan masjid yang rusak dan memperbaiki akses jalan serta melengkapi masjid dengan fasilitas air bersih, listrik, gas, dan alat komunikasi," demikian Asosiasi Islam Xinjiang.
Dalam laporan tersebut disingggung pula kunjungan tokoh-tokoh Islam dari berbagai negara, seperti Rusia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afghanistan, Indonesia, Malaysia, dan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OIC) lainnya.
Sejak 2001, lebih dari 70 pelajar Islam asal Xinjiang dikirim ke Universitas Al Azhar Mesir dan Pakistan International Islamic University untuk memperdalam ilmu agamanya agar bisa memberikan pengajaran kepada para juniornya di Xinjiang dengan baik.
Baca juga: Iklan politik pada Facebook dibatasi sebelum Pilpres AS
Pernyataan tersebut tercantum pada bagian akhir laporan Asosiasi Islam Xinjiang yang dirilis pada Selasa untuk menanggapi tuduhan-tuduhan AS atas kebebasan beragama di daerah paling barat daratan Tiongkok itu.
Laporan mirip dengan buku putih tersebut terdiri dari empat bab yang mencakup kebebasan memeluk agama dijamin penuh oleh negara, aktivitas keagamaan berjalan dengan tertib, pencegahan ekstremisme berkedok agama, dan meningkatnya kerja sama asosiasi tersebut dengan organisasi Islam di dunia.
Puasa, pernikahan, permakaman, dan ritual ibadah lainnya sangat dihormati di Xinjiang. Restoran dan kantin makanan halal mudah dijumpai di kantor pemerintahan, instansi pelayanan publik, kantor swasta, dan sekolahan, demikian laporan tersebut.
Baca juga: Kanye West berutang jutaan dolar AS untuk kampanye calon presiden
Selama bulan suci Ramadhan tahun ini yang bersamaan dengan merebaknya COVID-19, pemerintah telah mengirimkan beberapa staf ke masjid-masjid untuk mengukur suhu tubuh anggota jamaah, membagikan masker, obat-obatan, disinfektan, teh, kopi, buah-buahan untuk sajian takjil.
Asosiasi juga telah melakukan publikasi terjemahan kitab suci Alquran dan hadis-hadis shahih Bukhari-Muslim dalam bahasa Mandarin, Uighur, Kazakh, dan Kirgiz.
Demikian halnya dengan buku-buku Islam kuno, seperti Tarikh Nabi, juga terdapat dalam katalog buku-buku langka di China.
Baca juga: China klaim masjid di Xinjiang lebih banyak dari Amerika
Pemerintah China juga telah mendonasikan pembangunan kampus Xinjiang Islamic Institute berikut delapan cabangnya di Urumqi, Ili, Changji, Turpan, Aksu, Kizilsu, Kashgar, dan Hotan yang nilainya lebih dari 100 juta yuan yang rampung secara keseluruhan pada September 2017.
Lembaga pendidikan Islam tersebut telah meluluskan 4.000 orang dari berbagai jenjang pendidikan mulai dari SMP, SMA, sarjana, hingga magister.
Dalam hal politik, lebih dari 1.400 tokoh dari berbagai etnik di Xinjiang telah ditunjuk sebagai perwakilan dan anggota Kongres Rakyat (DPR) dan Majelis Pertimbangan Politik Rakyat China (MPR) sehingga bisa menyampaikan aspirasi kelompok etnisnya kepada pemerintah.
Baca juga: Google blokir iklan pemilu setelah pemungutan suara ditutup
Masjid menjadi sangat penting bagi umat Islam dalam menjalankan perintah agama.
"Oleh karena itu kami sangat berterima kasih atas bantuan pemerintah untuk memperbaiki bangunan masjid yang rusak dan memperbaiki akses jalan serta melengkapi masjid dengan fasilitas air bersih, listrik, gas, dan alat komunikasi," demikian Asosiasi Islam Xinjiang.
Dalam laporan tersebut disingggung pula kunjungan tokoh-tokoh Islam dari berbagai negara, seperti Rusia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afghanistan, Indonesia, Malaysia, dan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OIC) lainnya.
Sejak 2001, lebih dari 70 pelajar Islam asal Xinjiang dikirim ke Universitas Al Azhar Mesir dan Pakistan International Islamic University untuk memperdalam ilmu agamanya agar bisa memberikan pengajaran kepada para juniornya di Xinjiang dengan baik.
Baca juga: Iklan politik pada Facebook dibatasi sebelum Pilpres AS