Koordinator MAKI sebut Firli faktor utama merosotnya kinerja KPK
Jakarta (ANTARA) - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyebut Firli Bahuri menjadi salah satu faktor utama yang memerosotkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Jadi memang kemerosotan kinerja KPK salah satu faktor utamanya memang Pak Firli,” kata Boyamin kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Menurut Boyamin, kontroversi, serta omongan, retorika dan narasi yang dibuat oleh Firli Bahuri selama menjadi Pimpinan KPK yang membuat masyarakat tidak percaya begitu saja dengan kinerja lembaga antirasuah itu.
Jauh sebelum Firli ditetapkan sebagai tersangka aksus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), purnawirawan Polri berpangkat komisari jenderal (komjen) itu juga sudah membuat drama-drama yang menjadi sorotan publik.
Boyamin menyebut, drama Firli Bahuri sudah ada sejak dirinya menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
“Itu dramanya sudah sejak zaman deputi. Udah pelanggaran kode etik dan pertama kali baru bertugas belum beberapa bulan, kemudian kasus helikopter pulang kampung,” katanya.
Boyamin menuturkan, kasus helikopter pulang kampung bukan sekadar pelanggaran kode etik, terkait bergaya hidup mewah. Tapi ada unsur gratifikasikanya. Karena helikopter tersebut disediakan oleh perusahaan yang terafiliasi dengan kasus yang sedang ditangani KPK berdasarkan operasi tangkap tangan (OTT).
“Gratifikasi dalam pengertian karena dapat diskon besar, harusnya minimal (sewa heli) itu adalah Rp 20 juta untuk operasionalnya saja, tapi ini Rp 7 juta satu jam, itu diskon dengan alasan COVID. Diskon itu gratifikasi,” kata Boyamin menegaskan.
Selain diskon, lanjut Boyamin, dalam kasus helikopter pulang kampung tersebut juga sarat konflik kepentingan karena jelas-jelas disediakan oleh perusahaan yang sedang menjadi “pasien” KPK dan kasus OTT tersebut sudah tahap penyidikan.
Menurut Boyamin, jika bicara soal pelanggaran hukum, apa yang dilakukan Firli terkait helikopter pulang kampung sudah masuk perbuatan melanggar hukum.
Boyamin-pun menyesalkan, setelah dirinya melaporkan pelanggaran etik Filri Bahuri ke Dewas KPK terkait helikopter pulang kampung dan dijatuhkan sanksi tidak membuatnya jera dengan memperbaiki kinerjanya.
“Setelah saya laporkan dan diputus Dewas KPK tidak menjadikan Pak Firli untuk memperbaiki kinerjanya, tapi malah masih banyak drama-drama lagi,” ujar Boyamin.
Selain faktor Filri, Boyamin mengatakan kemerosotan kinerja KPK sudah terjadi sejak revisi Undang-Undang KPK di mana kewenangan Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut.
Selain itu, dalam undang-undang tersebut dikatakan KPK sebagai rumpun eksekutif yang berarti berada di bawah kendali pemerintah.
“Artinya apa, itu sangat berpengaruh karena pimpinan KPK hanya sebagai fungsi-fungsi administrasi meskipun pimpinan KPK punya kewenangan, tapi betul-betul mendegradasi kewenangan KPK,” kata Boyamin.
Kinerja KPK merosot jauh dibandingkan rekan sejawatnya Kejaksaan RI yang mendapat penilaian tingkat kepercayaan tertinggi publik 81,2 persen pada Juni 2023 lalu.
Hal ini, kata Boyamin, karena Kejaksaan berhasil mengusut kasus-kasus besar seperti minyak goreng, Duta Palma, Jiwasraya, Asabri, satelit Kemhan, Bakti Kominfo, hingga pembentukan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (Jampidmil) dalam menyelesaikan perkara koneksitas sipil dan TNI.
Berbeda dengan KPK, saat mengusut kasus korupsi di Basarnas, justru melakukan penetapan tersangka di luar kewenangannya karena tidak memiliki penyidik gabungan (koneksitas).
“Nah KPK kemarin yang Basarnas dari TNI itu timbul tragedi, karena mengumumkan tersangka TNI tapi tidak punya kewenangan. Harusnya tim gabungan, tapi tidak pernah dibentuk sampai sekarang,” kata Boyamin.
“Itulah blunder-blunder KPK di bawah Pak Firli, jadi memang itulah faktor yang memerosotkan kinerja KPK adalah faktor utamanya Pak Firli,” kata Boyamin menambahkan.
“Jadi memang kemerosotan kinerja KPK salah satu faktor utamanya memang Pak Firli,” kata Boyamin kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Menurut Boyamin, kontroversi, serta omongan, retorika dan narasi yang dibuat oleh Firli Bahuri selama menjadi Pimpinan KPK yang membuat masyarakat tidak percaya begitu saja dengan kinerja lembaga antirasuah itu.
Jauh sebelum Firli ditetapkan sebagai tersangka aksus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), purnawirawan Polri berpangkat komisari jenderal (komjen) itu juga sudah membuat drama-drama yang menjadi sorotan publik.
Boyamin menyebut, drama Firli Bahuri sudah ada sejak dirinya menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
“Itu dramanya sudah sejak zaman deputi. Udah pelanggaran kode etik dan pertama kali baru bertugas belum beberapa bulan, kemudian kasus helikopter pulang kampung,” katanya.
Boyamin menuturkan, kasus helikopter pulang kampung bukan sekadar pelanggaran kode etik, terkait bergaya hidup mewah. Tapi ada unsur gratifikasikanya. Karena helikopter tersebut disediakan oleh perusahaan yang terafiliasi dengan kasus yang sedang ditangani KPK berdasarkan operasi tangkap tangan (OTT).
“Gratifikasi dalam pengertian karena dapat diskon besar, harusnya minimal (sewa heli) itu adalah Rp 20 juta untuk operasionalnya saja, tapi ini Rp 7 juta satu jam, itu diskon dengan alasan COVID. Diskon itu gratifikasi,” kata Boyamin menegaskan.
Selain diskon, lanjut Boyamin, dalam kasus helikopter pulang kampung tersebut juga sarat konflik kepentingan karena jelas-jelas disediakan oleh perusahaan yang sedang menjadi “pasien” KPK dan kasus OTT tersebut sudah tahap penyidikan.
Menurut Boyamin, jika bicara soal pelanggaran hukum, apa yang dilakukan Firli terkait helikopter pulang kampung sudah masuk perbuatan melanggar hukum.
Boyamin-pun menyesalkan, setelah dirinya melaporkan pelanggaran etik Filri Bahuri ke Dewas KPK terkait helikopter pulang kampung dan dijatuhkan sanksi tidak membuatnya jera dengan memperbaiki kinerjanya.
“Setelah saya laporkan dan diputus Dewas KPK tidak menjadikan Pak Firli untuk memperbaiki kinerjanya, tapi malah masih banyak drama-drama lagi,” ujar Boyamin.
Selain faktor Filri, Boyamin mengatakan kemerosotan kinerja KPK sudah terjadi sejak revisi Undang-Undang KPK di mana kewenangan Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut.
Selain itu, dalam undang-undang tersebut dikatakan KPK sebagai rumpun eksekutif yang berarti berada di bawah kendali pemerintah.
“Artinya apa, itu sangat berpengaruh karena pimpinan KPK hanya sebagai fungsi-fungsi administrasi meskipun pimpinan KPK punya kewenangan, tapi betul-betul mendegradasi kewenangan KPK,” kata Boyamin.
Kinerja KPK merosot jauh dibandingkan rekan sejawatnya Kejaksaan RI yang mendapat penilaian tingkat kepercayaan tertinggi publik 81,2 persen pada Juni 2023 lalu.
Hal ini, kata Boyamin, karena Kejaksaan berhasil mengusut kasus-kasus besar seperti minyak goreng, Duta Palma, Jiwasraya, Asabri, satelit Kemhan, Bakti Kominfo, hingga pembentukan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (Jampidmil) dalam menyelesaikan perkara koneksitas sipil dan TNI.
Berbeda dengan KPK, saat mengusut kasus korupsi di Basarnas, justru melakukan penetapan tersangka di luar kewenangannya karena tidak memiliki penyidik gabungan (koneksitas).
“Nah KPK kemarin yang Basarnas dari TNI itu timbul tragedi, karena mengumumkan tersangka TNI tapi tidak punya kewenangan. Harusnya tim gabungan, tapi tidak pernah dibentuk sampai sekarang,” kata Boyamin.
“Itulah blunder-blunder KPK di bawah Pak Firli, jadi memang itulah faktor yang memerosotkan kinerja KPK adalah faktor utamanya Pak Firli,” kata Boyamin menambahkan.