Larangan yang pertama kali diberlakukan 160 tahun lalu itu melarang aborsi sejak masa pembuahan, dengan pengecualian untuk menyelamatkan nyawa sang ibu, menjadikan perdebatan tentang hak aborsi di negara bagian yang terpecah menjadi dua kubu berseberangan ini sebagai isu pemilihan umum (pemilu) nasional. Hal ini dinyatakan Xinhua yang dikutip di Jakarta, Senin.
Para demonstran pada Minggu mengacungkan spanduk bertuliskan "Hentikan Larangan Aborsi", "Tubuhku, Pilihanku", "Kau Tidak Berhak Atas Diriku", dan slogan-slogan lainnya untuk memprotes pemberlakuan larangan tersebut.
Shay, seorang siswa sekolah menengah atas yang mengikuti aksi tersebut, mengatakan kepada Xinhua bahwa "larangan ini merusak hak-hak perempuan."
Larangan yang akan mulai berlaku dalam beberapa pekan mendatang ini akan menganulir larangan aborsi sebelumnya di Arizona. Negara bagian tersebut saat ini mengizinkan aborsi hingga usia kehamilan 15 pekan di bawah undang-undang yang diloloskan oleh Badan Legislatif Arizona pada 2022 lalu.
"Larangan yang kejam ini pertama kali diberlakukan pada 1864, lebih dari 150 tahun yang lalu, sebelum Arizona menjadi sebuah negara bagian dan jauh sebelum perempuan mendapatkan hak untuk memilih dalam pemilu," kata Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dalam pernyataannya di Gedung Putih.
"Mahkamah Agung Arizona bertindak terlalu jauh dalam Keputusan Aborsi mereka, memberlakukan dan menyetujui undang-undang yang tidak layak dari tahun 1864," tulis mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump, di Truth Social. Sebelumnya pada bulan ini, Trump menyatakan bahwa dia yakin batasan mengenai aborsi harus diserahkan kepada negara bagian.
Aborsi telah menjadi isu kontroversial di AS, yang secara umum membentuk dua kubu sesuai partai politik masing-masing. Partai Demokrat pada umumnya mendukung perlindungan hak-hak aborsi, sementara para politisi Partai Republik menyerukan berbagai opsi untuk membatasi aborsi.