Jakarta (ANTARA) - Pelari Uganda sekaligus atlet Olimpiade Rebecca Cheptegei meninggal dunia setelah dibakar oleh pacarnya, AFP melaporkan pada Kamis.
“Kami telah mendengar tentang meninggalnya atlet Olimpiade kami Rebecca Cheptegei... setelah serangan kejam oleh pacarnya,” kata Komite Olimpiade Uganda Donald Rukare dalam sebuah unggahan di X atau Twitter resminya.
Cheptegei, 33, menderita luka bakar hingga 80 persen di sekujur tubuhnya, kata penjabat kepala Rumah Sakit Pendidikan dan Rujukan Moi (MTRH) di kota Rift Valley, Eldorect, tempat dia sempat dirawat.
“Semua organnya rusak tadi malam,” kata seorang petugas medis di fasilitas itu kepada AFP.
Polisi mengatakan seorang pria bernama Dickson Ndiema Marangach, yang diidentifikasi sebagai pasangannya, diduga menyiram Cheptegei dengan bensin dan membakarnya dalam sebuah serangan pada hari Minggu (1/9) di rumahnya di Endebess di wilayah barat Trans-Nzoia.
Insiden itu terjadi beberapa minggu setelah Cheptegei ikut serta dalam maraton di Olimpiade Paris 2024, di mana ia finis di posisi ke-44.
Media Kenya melaporkan bahwa salah satu putri Cheptegei menyaksikan penyerangan di rumah ibunya.
“Dia menendang saya saat saya mencoba lari menyelamatkan ibu saya,” demikian laporan media The Standard Kenya.
“Saya langsung berteriak minta tolong, menarik perhatian tetangga yang mencoba memadamkan api dengan air, tetapi tidak berhasil,” kata gadis itu, yang tidak disebutkan namanya.
Marangach juga terluka dalam insiden itu, mengalami luka bakar 30 persen di sekujur tubuhnya.
Ini bukan kali pertama terdapat kejadian yang hampir serupa. Dua tahun lalu, atlet kelahiran Kenya Damaris Mutua ditemukan tewas di Iten, pusat lari terkenal yang terletak di Rift Valley.
Pada tahun 2021, pelari Kenya pemecah rekor Agnes Tirop, 25 tahun, ditemukan tewas ditikam di rumahnya di Iten pada tahun 2021. Mantan suaminya diadili atas pembunuhannya. Dia membantah tuduhan tersebut.
Angka terbaru dari Biro Statistik Nasional Kenya yang diterbitkan pada Januari 2023 menemukan bahwa 34 persen perempuan di negara tersebut telah mengalami kekerasan fisik sejak usia 15 tahun.