Jakarta (ANTARA) - Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berhasil mengamankan buronan internasional asal China yang merupakan pelaku investasi fiktif, LQ alias JL (39 tahun), berkat ketahuan sistem autogate di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali.
“Yang bersangkutan bermaksud meninggalkan Indonesia menuju Singapura menggunakan penerbangan Singapore Airlines, flight number SQ 0944. Namun, tertahan di autogate Bandara Internasional Ngurah Rai,” kata Direktur Jenderal Imigrasi Silmy Karim saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis.
Silmy menjelaskan, LQ alias JL merupakan tersangka tindak pidana ekonomi di China yang terjadi pada tahun 2020. Perbuatan yang bersangkutan melibatkan sekitar 50 ribu korban dengan total kerugian mencapai 100 miliar Yuan atau sekitar Rp210 triliun.
Pada 27 September 2024, Tim Kerja Penyidikan Ditjen Imigrasi menerima informasi dan surat dari Konselor Polisi Kedutaan China di Jakarta perihal permintaan bantuan pencarian warga negara China atas nama Lin Qiang (LQ) yang diduga melarikan diri ke Bali.
Imigrasi lantas memasukkan informasi yang diberikan pihak China ke dalam daftar pencegahan dan penanggalan pada sistem cekal Ditjen Imigrasi.
Berdasarkan data perlintasan, didapati bahwa LQ tiba di Indonesia pada tanggal 26 September 2024 pukul 19.00 WITA, melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, menggunakan visa saat kedatangan atau Visa on Arrival (VoA).
Namun, LQ masuk ke Indonesia dengan menggunakan identitas yang berbeda dengan pemberitahuan China. LQ mengaku sebagai Joe Lin dan menggunakan paspor kebangsaan Turki.
Kemudian, pada tanggal 1 Oktober 2024, Kantor Imigrasi Ngurah Rai melaporkan bahwa subjek pencegahan atas nama LQ alias JL telah ditemukan. Dia bermaksud meninggal Indonesia menuju Singapura, tetapi urung karena tertahan di autogate Bandara Ngurah Rai.
Silmy menjelaskan, ketika LQ alias JL masuk ke Indonesia, pihak China belum mengirimkan red notice. Oleh karena itu, yang bersangkutan tetap dapat masuk ke wilayah RI.
“Nah, ketika informasi (red notice) itu masuk, kami langsung melakukan input data di sistem cekal yang biasanya meliputi detail foto, nama, wajah, biometrik,” kata dia.
Meski identitas yang diberikan pihak China berbeda dengan identitas yang digunakan oleh buron saat ke Indonesia, autogate tetap dapat mendeteksi ciri-ciri pelintas yang ada di dalam daftar cekal, sebab data biometrik telah tercatat.
“Karena biometriknya sudah tercatat, maka autogate ketika dia (buronan) mau keluar itu menangkap bahwa yang bersangkutan ini adalah subjek red notice, dan kemudian petugas langsung menjemput yang bersangkutan, kemudian diamankan,” ucap Silmy.
Namun demikian, Silmy menegaskan bahwa dengan ada atau tidaknya autogate, standar pemeriksaan imigrasi di Indonesia memang harus tinggi. Saat ini, Ditjen Imigrasi memprioritaskan penggunaan autogate di bandara dengan perlintasan sibuk, seperti Ngurah Rai dan Soekarno-Hatta.
“Ke depan, kami melihat ada beberapa lagi. Misalnya, di Kualanamu [Sumatera Utara] atau mungkin juga di Surabaya, dan kami sedang mengkaji juga di Yogyakarta. [Autogate] itu berdasarkan kebutuhan saja, tapi standarnya itu sama,” kata Silmy.
Pada Kamis ini, Ditjen Imigrasi menyerahkan LQ alias JL kepada Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri. Selanjutnya, Divhubinter Polri akan memverifikasi dan memvalidasi data yang bersangkutan untuk keperluan pemeriksaan lebih lanjut.