Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan bahwa pihaknya akan mengundang media massa dan insan pers untuk membahas aturan terkait dengan siaran dalam proses persidangan yang akan diatur di Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Diinformasikan bahwa audiensi itu dijadwalkan berlangsung pada tanggal 8 April 2025. Sementara itu, DPR RI memasuki masa reses mulai 26 Maret hingga 16 April 2025.
"Terkait dengan liputan persidangan, kami akan undang Dewan Pers, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), AJI (Aliansi Jurnalis Independen), dan Forum Pemred pada tanggal 8 April setelah Lebaran. Khusus membahas hal itu, bagaimana pengaturan yang paling baik," kata Habiburokhman di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.
Audiensi dengan insan pers itu, menurut dia, perlu guna mendapatkan masukan untuk mereformulasi aturan penyiaran dalam proses persidangan, yang dalam draf RKUHAP memuat aturan pelarangan liputan sidang secara langsung tanpa izin pengadilan.
"Kami paham teman-teman menjalankan tugas untuk memberitahukan kepada masyarakat. Akan tetapi, ada beberapa acara di pengadilan dalam persidangan pidana yang memang enggak bisa disiarkan, yang paling penting adalah pemeriksaan saksi karena saksi itu 'kan keterkaitan, enggak boleh saling mendengar," ujarnya.
Habiburokhman menekankan bahwa larangan penyiaran langsung dalam persidangan yang akan dibahas Komisi III DPR RI bersama insan pers itu dikhususkan hanya pada persidangan terkait dengan agenda pemeriksaan saksi.
"Persidangan, khusus untuk pemeriksaan saksi yang ada kaitan satu sama lain, ya mungkin itu pemberitaannya bisa setelah selesai," ujarnya.
Ia lantas berkata, "Itu yang memang perlu disiasatinya. Apakah yang enggak bisa disiarkan secara live, itu hanya terkait dengan pemeriksaan saksi. Jadi, spesifik."
Larangan penyiaran selama persidangan itu, lanjut dia, tidak berlaku pada proses persidangan lain. Misalnya, agenda pembacaan dakwaan, eksepsi, tuntutan, hingga vonis.
"Bukan kalau umum ini 'kan kayaknya teman-teman pers dipersulit untuk meliput jadinya. Kalau meliput, harus izin ketua pengadilan, padahal kita menganut prinsip sidang terbuka untuk umum, kecuali yang terkait dengan susila okelah tertutup," tuturnya.
Ditegaskan pula bahwa proses persidangan di luar pemeriksaan saksi memang sudah sepatutnya dapat disiarkan secara terbuka.
"Kalau perkara biasa memang seharusnya terbuka, seharusnya teman-teman diperbolehkan untuk meliput. Bahkan, kalau meniru kayak (rapat) DPR, live streaming otomatis. Jadi, teman-teman itu sebenarnya enggak perlu datang ke sana, juga bisa meliput," kata dia.
Sebelumnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI) Juniver Girsang mengusulkan agar RKUHAP menegaskan larangan penyiaran persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan, khususnya terkait dengan agenda pemeriksaan saksi, sebagaimana termaktub dalam Pasal 253 ayat (3) draf RKUHAP.
"Kenapa ini harus kami setuju? Karena orang dalam persidangan pidana kalau liputannya langsung, saksi-saksi bisa mendengar, bisa saling memengaruhi, bisa nyontek, itu kami setuju itu tidak disiarkan langsung. Bisa saja diizinkan hakim (disiarkan langsung), tentu ada pertimbangannya," kata Juniver dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI bersama sejumlah pakar di Jakarta, Senin (24/3).