Palangka Raya, 17/6 (Antara) - Ratusan mahasiswa di Palangka Raya beramai-ramai mendatangi kantor DPRD provinsi Kalimantan Tengah, Senin pagi.
Mereka menyampaikan sikap dan meminta dukungan dari kalangan wakil rakyat agar menolak rencana penaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Khawatir dianggap tidak berpihak pada masyarakat kecil, belasan legislator dari berbagai partai bahkan partai pendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhonono (SBY) pun terpaksa ikut menandatangani.
"Tanda tangan itu sebagai pribadi, bukan dari partai. Jadi bukan sikap partai. Saya mendukung penaikan harga BBM," kata Wakil Ketua DPRD Kalteng yang juga legislator dari Partai Amanat Nasional (PAN), Arief Budiatmo usai berdialog dengan ratusan mahasiswa tersebut di Palangka Raya.
Dari media online Kompas diberitakan dua fraksi di DPR RI yakni PDIP dan PKS masih memperjuangkan penolakan penaikan harga BBM bersubsidi di rapat paripurna yang akan dibahas, Senin (17/6/2013).
Sedangkan berdasarkan situs Kemenperin menyebutkan penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak terelakkan pada 2013. Situasi ekonomi dunia yang belum menentu dan kebutuhan pembangunan infrastruktur dalam negeri perlu direspon dengan penurunan biaya subsidi BBM.
Argumentasi pro kontra di rencana kenaikan harga di mutiara hitam itu seakan menjadi drama yang tidak terelakkan di Negara Indonesia ini. Pertanyaannya, sampai kapan mutiara hitam itu menjadikan anggapan pemerintah sebagai korban yang tidak pro terhadap rakyat kecil.
Menurut catatan http://teguhimanprasetya.wordpress.com, harga BBM bersubdisi tahun 1980 berdasarkan keputusan presiden, harga solar per liter Rp52,5, premium Rp150 dan minyak tanah Rp37,5, tahun 1991 jenis premium Rp550, solar Rp300 dan minyak tanah Rp220, tahun 1993 jenis premium Rp700, solar Rp380 dan minyak tanah Rp280, tahun 1998 jenis premium Rp1.200, solar Rp600 dan minyak tanah Rp350.
Tahun 2000 jenis premium Rp1.150, solar Rp600 dan minyak tanah Rp350, tahun 2001 jenis premium Rp1.450, solar Rp900 dan minyak tanah Rp400, tahun 2002 jenis premium Rp1.550, solar Rp1.150 dan minyak tanah Rp600, tahun 2003 jenis premium Rp1.810, solar Rp1.890 dan minyak tanah Rp700, tahun 2005 jenis premium Rp2.400, solar Rp2.100 dan minyak tanah Rp700.
Awal oktober 2005 kembali dinaikkan menjadi jenis premium Rp4.500, solar Rp4.300 dan minyak tanah Rp2.000, tahun 2008 jenis premium Rp6.000, solar Rp5.500 dan minyak tanah Rp2.500 menurut peraturan menteri ESDM nomor 16 tahun 2008.
Desember 2008 yang berubah hanya premium turun dari Rp6.000 menjadi Rp 5.500/liter. Harga solar dan minyak tanah tetap. Dua pekan kemudian, harga premium kembali terkoreksi, tapi turun sebesar Rp500 menjadi Rp5.000/liter. Harga solar juga turun dari Rp5.500 ke Rp 4.800/liter. Hanya minyak tanah saja yang stabil, tetap di posisi Rp2.500/liter.
Memasuki 2009, Presiden kembali mengoreksi harga BBM bersubsidi. Persis 15 Januari, harga bensin premium kembali diturunkan dari Rp 5.000 menjadi Rp4.500/liter hingga saat ini.
Terhitung sejak tahun 1980 sampai 2013, kenaikan Harga BBM subsidi di Indonesia terjadi sebanyak 9 kali. Sementara untuk penurunannya terjadi sebanyak 3 kali.
"Kalaupun harus menaikkan harga BBM maka pemerintah pusat perlu menyubsidi pupuk petani, minyak nelayan, menyediakan alat transportasi mengangkut bahan pokok, menganggarkan secara nyata 20 persen pendidikan dan kesehatan," kata Ketua Kadin Kalteng Tugiyo.
Kalteng mendukung
"Kalau sejak zaman orde baru punya niat baik membangun bangsa dan tidak terlalu memanjakan masyarakat, maka harga BBM bersubsidi di Indonesia berkisar Rp10 ribu per liter. Menaikkannya jangan langsung besar tapi Rp200 per liter per tahun. Kalau itu dilakukan maka tidak seperti ini. Selalu rebut dan saling menyalahkan," kata Kabiro Antara Kalteng Saidul Karnaen.
Komentar yang sederhana, tapi bisa saja benar. Karena nilai Rp200 di masa sekarang ini sama sekali tidak berarti. Namun, menaikkan harga tersebut harus diikuti berbagai langkah.
Mulai dari memperbaiki pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN), memberantas korupsi hingga ke akarnya, nasionalisasi aset vital yang dikuasai asing, mengoptimalkan pendapatan negara melalui sektor pajak, memaksimalkan distribusi BBM keseluruh pelosok dan pengawasan yang berkelanjutan oleh pihak berwajib, dan meminimalisir perjalanan dinas menteri, DPR, hingga pejabat pemerintah provinsi kabupaten/kota, pengoptimalan energy alternatif dan lainnya.
"Sudah saatnya harga BBM bersubsidi untuk kendaraan pribadi dinaikkan. Mereka itulah yang menikmati dan banyak menggunakan BBM bersubsidi," kata Ketua DPRD Kotawaringin Timur yang juga politisi dari PDI Perjuangan, Jhon Krisli di Sampit.
Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang juga mendukung pencabutan subsidi BBM. Sebab, realitanya masyarakat di provinsi dengan julukan 'Bumi Tambun Bungai', khususnya yang tinggal di pelosok tidak menikmati BBM subsidi.
Justru BBM itu bisa dinikmati oleh masyarakat di daerah dari pengecer-pengecer, bukan karena layanan dari Pertamina. Selama Pertamina tidak membangun SPBU hingga ke wilayah terpencil, disparitas harga akan terus terjadi.
"Kami setuju subsidi BBM dicabut saja karena saudara-saudara kami di daerah pedalaman membeli BBM sampai Rp20.000 per liter," kata Gubernur Kalteng yang diusung PDIP Perjuangan itu.
(T.KR-JWM/B/H-KWR/H-KWR)