Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Panitia Khusus Pelarangan Minuman Beralkohol Aryo Djojohadikusumo mengatakan anggota dewan perlu mempelajari aturan pengendalian minuman beralkohol di Malaysia.
"Kami perlu studi di Malaysia, minuman beralkohol di sana tidak dilarang padahal mereka negara syariat (Islam)," katanya di Jakarta, Jumat.
Studi banding ke Malaysia, menurut dia, perlu dilakukan karena isi naskah akademik Rancangan Undang-Undang Pelarangan Minuman Berakohol masih banyak yang bersifat normatif.
"Misalnya ditulis bahwa masyarakat Manado tidak suka alkohol, berapa persen studinya dan apakah sudah disurvei," ujarnya.
Politikus Partai Gerindra itu menegaskan, terkait studi banding itu, partainya dalam posisi lebih baik mendatangkan ahli dan duta besar Malaysia untuk dimintai pendapatnya ketimbang mengunjungi negara itu.
"Namun kalau dirasa belum mengerti (memanggil ahli dan duta besar Malaysia), maka kita ke sana namun itu pilihan terakhir," ujarnya.
Aryo berpendapat peredaran minuman beralkohol perlu diatur dan dikendalikan agar anak-anak tidak bisa mengonsumsinya.
Selama ini, dia menjelaskan, pengendalian penggunaan minuman beralkohol diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 74 tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol dan selanjutnya perlu diperkuat dengan membuat undang-undang.
"Minuman beralkohol seharusnya dikonsumsi oleh orang dewasa karena sudah bisa memutuskan mengkonsumsi atau tidak," katanya.
Aryo belum bisa memastikan kapan studi banding ke Malaysia dilakukan dan mengatakan itu seharusnya diputuskan dalam Rapat Pansus pekan lalu namun tidak jadi karena masing-masing anggota sibuk membahas RAPBN 2016.
Dia mengatakan, pekan pertama setelah masa reses, Pansus Minol akan segera melakukan rapat dan membahas berbagai hal.
Pahami materi
Ketua Panitia Khusus Pelarangan Minuman Beralkohol Arwani Thomafi ingin mengundang pihak terkait untuk meminta masukan dalam menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Minuman Beralkohol.
Panitia Khusus berencana mengundang lembaga pemerintah terkait, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi keagamaan dan ahli hukum untuk meminta masukan dalam menyusun undang-undang itu.
"Kami tidak ingin industri yang berbasis kerakyatan menjadi tutup namun perlu pengaturan agar menjadi kehidupan masyarakat. Kami menilai ini harus dipahami secara komprehensif," katanya.
Dia mengatakan, semangat yang dibangun adalah melarang dengan pengecualian karenanya kalangan industri tidak perlu khawatir akan "gulung tikar".