Opini - Perencanaan dan alternatif pengembangan sistem kelistrikan Kalsel-Kalteng 2018-2027

id PLN kalselteng,listrik,listrik kalteng

Opini - Perencanaan dan alternatif pengembangan sistem kelistrikan Kalsel-Kalteng 2018-2027

PLTMG Bangkinai. (Istimewa)

Indonesia memiliki nilai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,07% per tahun pada tahun 2017. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, secara umum, pertumbuhan ekonomi Indonesia itu berasal dari sektor pengolahan (0,91%), sektor konstruksi (0,67%), sektor perdagangan (0,59%), dan sektor pertanian (0,49%). 

Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan diperlukan ketersediaan energi yang cukup untuk menggerakkan proses produksi di masing-masing sektor itu. Namun disadri bahwa kondisi alam dan cadangan energi Indonesia semakin menipis karena mayoritas energi tersebut berasal dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Oleh karena itu, pangelolaan energi yang baik sangat diperlukan untuk menunjang kinerja dari sektor-sektor tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengelolaan energi tersebut adalah melalui penerapan ilmu ekonomi energi.

Ilmu ekonomi energi mempelajari mengenai kemampuan agen penggerak perekonomian suatu negara, seperti pemerintah, perusahaan, ataupun perorangan untuk dapat mengubah segala sumber daya yang ada menjadi bentuk energi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu penerapan ekonomi energi yang dapat mendukung kebijakan energi adalah pembuatan kajian perencanaan energi (energy planning) dengan tujuan untuk memberikan analisa dampak lingkungan dan ekonomi terhadap berbagai strategi kebijakan, sehingga mampu menciptakan berbagai pilihan yang dapat dibandingkan satu sama lain untuk menghasilkan pilihan yang paling optimal dan efisien. 

Kajian tersebut dapat diterapkan pada berbagai jenis kebutuhan energi seperti kebutuhan energi pada bidang kelistrikan, transportasi, dan lain-lain. Pembuatan kajian perencanaan energi pada bidang kelistrikan dilakukan mengingat listrik merupakan salah satu jenis energi yang paling banyak diperlukan oleh sektor penunjang perekonomian. Salah satu kajian yang dibuat adalah kajian kelistrikan untuk Wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah tahun 2018 hingga tahun 2027.

Sistem kelistrikan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah secara garis besar terbagi menjadi 2 sistem. Sebagian besar berada dalam sistem Barito yang merupakan jaringan grid interkoneksi antar provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan timur. Sedangkan sebagian kecil merupakan sistem isolated dimana penyediaan listrik masih terbatas pada satu daerah, baik tingkat kabupaten, kecamatan maupun desa. 

Produksi energi listrik di kedua wilayah ini berasal dari PLTU, PLTD, PLTG/PLTMG, dan PLTA. Dari keempat jenis pembangkit listrik tersebut, PLTU, PLTG/PLTMG dan PLTD merupakan jenis pembangkit yang dominan terpasang pada saat ini. Tahun 2016 telah selesai pekerjaan PLTMG Bangkanai telah beroperasi dengan kapasitas 155 MW di Barito utara dan PLTU Pulang Pisau Kapasitas 2 x 60 MW di Kalimantan Tengah yang menyebabkan sistem Barito menjadi surplus energi. 

Total kapasitas pembangkit terpasang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah menurut perkiraan hingga akhir 2018, baik dalam sistem Barito dan sistem isolated sebesar 835 MW dengan Daya Mampu sebesar 722 MW dan beban puncak total sebesar 660 MW. 

Konsumsi energi listrik dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Realisasi penjualan listrik di wilayah Kalimantan Selatan meningkat dari 1.467 GWh pada tahun 2011 menjadi 2.460,3 GWh pada tahun 2017. Begitu pula dengan realisasi penjualan listrik di wilayah Kalimantan Tengah yang meningkat dari 650 GWh pada tahun 2011 menjadi 1.160,5 GWh pada tahun 2017. Peningkatan penjualan listrik ini pun diprediksi akan bertambah dan diperkirakan pada tahun 2027, penjualan listrik di wilayah Kalimantan Selatan akan mencapai 5.364 GWh dan di wilayah Kalimantan Tengah akan mencapai 2.926 GWh dengan total 8.290 GWh.

Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sebagai lumbung energi di Kalimantan dengan potensi sumber energi primer yang ada meliputi batu bara, gas alam, air, matahari, angin dan biogas. Di Kalimantan Selatan, deposit batu bara diperkirakan lebih dari 1,8 miliar ton dan potensi daya listrik dari  air dapat mencapai 564 MW. Sedangkan di Kalimantan Tengah, deposit batu bara diperkirakan lebih dari 400 juta ton, potensi gas alam sebesar 20 mmscfd selama 20 tahun,  dan potensi daya listrik dari air dapat mencapai 356 MW (RUPTL 2018 – 2027).

Kebutuhan energi listrik yang cukup besar ini perlu diantisipasi dengan penambahan produksi energi dari pembangkit listrik yang ada. Kemampuan produksi energi listrik tersebut dapat direncanakan dengan penambahan kapasitas dari pembangkit yang ada ataupun dari pembangkit yang baru. Dengan mempertimbangkan berbagai potensi sumber energi primer yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, pemerintah telah membuat perencanaan energi hingga tahun 2027 dengan menambahkan pembangkit jenis PLTU, PLTG/PLTMG, PLT Bayu, dan PLT Biogas. Dengan penambahan pembangkit yang ada maka PLTD semaksimal mungkin akan dihilangkan, kecuali pada lokasi isolated yang belum memungkinkan untuk tersambung dengan sistem Barito.

Sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) tahun 2018 hingga 2027 total penambahan pembangkit di Kalimantan Selatan: PLTU 414 MW, PLTGU 100 KW, PLTG/PLTMG 200 MW, lain-lain 82 MW, dengan total pembangkit 896 MW. Total penambahan pembangkit di Kalimantan Tengah: PLTU 250 MW, PLTU mulut tambang 400 KW, PLTG/PLTMG 240 MW, lain-lain 1 MW, dengan total pembangkit 891 MW. 

Total penambahan pembangkit di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah hingga tahun 2027 sebesar 1.787 MW, dengan asumsi dapat mematikan PLTD yang ada saat ini minimal sebesar 200 MW, sehingga total ketersediaan pembangkit pada tahun 2027 adalah sebesar 2.422 MW dengan prediksi pertumbuhan beban dan konsumsi listrik sebesar 1.712 MW dengan konsumsi energi sebesar 8,29 GWh.

Dengan total pembangkit sebesar 2.422 MW dan beban listrik sebesar 1.712 MW sehingga Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sebagai lumbung energi mengalami surplus daya sebesar 710 MW atau sekitar 30% dari daya terpasang sebagai cadangan operasi yang dapat memastikan kehandalan sistem kelistrikan di Kalimantan dan memungkinkan untuk transfer energi ke Kalimantan Barat maupun Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. 

Adanya kelebihan daya terpasang pembangkit juga menjadi potensi sebagai pendorong perkembangan kota Palangkaraya dan sekitarnya dalam rangka pembangunan awal untuk persiapan apabila pemindahan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Tengah.

Pada kajian perencanaan energi ini, dibuat simulasi dan kajian optimalisasi pembangkit agar pada tahun 2027 dapat melakukan manajemen energi primer yang tidak dapat terbarukan dengan baik sehingga mendapatkan total biaya tahunan yang lebih murah dan penurunan emisi CO2 sehingga menghasilkan pengoperasian pembangkit yang lebih ramah lingkungan. 

Pada kajian ini ada beberapa asumsi yang diterapkan yaitu :
1) potensi energi matahari yang dapat dimanfaatkan bisa mencapai 50 MW dengan memanfaatkan PLTS terapung di PLTA Riam kanan, 
2) penurunan total biaya tahunan dibatasi oleh ketentuan bahwa nilai emisi gas CO2 tidak bertambah signifikan untuk menjaga kualitas lingkungan dan 
3) kombinasi pola pembangkit didasarkan pada penurunan kapasitas daya PLTG/PLTMG sebesar 100 MW pada beban dasar hari yang dikompensasi oleh penambahan kapasitas daya pada jenis pembangkit lainnya. Pengoperasian PLTG/PLTMG dimaksimalkan pada beban puncak dikarenakan sifat gas yang bisa dikompresi dan disimpan sehingga dapat digunakan pada waktu beban puncak. 

Dari hasil kajian yang dilakukan, didapatkan 2 alternatif yang menghasilkan nilai penurunan biaya total tahunan, yaitu :
- Alternatif 1,
Pengurangan daya keluaran pembangkitan bahan bakar gas (PLTG/PLTMG) sebesar 100 MW dan menggantinya dengan penambahan daya keluaran PLTU (pembangkit batu bara) sebesar 50 MW dan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) sebesar 50 MW.

- Alternatif 2,
Pengurangan daya keluaran pembangkitan bahan bakar gas (PLTG/PLTMG) sebesar 100 MW dan menggantinya dengan penambahan daya keluaran PLTU (pembangkit batu bara) sebesar 75 MW dan PLTA (pembangkit tenaga air) sebesar 25 MW.

Dari hasil perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan program Energy Plan, nilai penghematan total biaya tahunan yang dapat dilakukan dengan penerapan alternatif 1 adalah sebesar 0,37% dan alternatif 2 sebesar 0,31%. Penghematan total biaya ini secara keuangan didapatkan dari penurunan biaya variabel, penurunan biaya operasi, dan peningkatan biaya investasi. Penurunan biaya variabel sangat dipengaruhi oleh berkurangnya biaya pembelian bahan bakar gas yang diganti pembelian bahan bakar batu bara atau dengan pemanfaatan energi matahari dan air yang relatif lebih murah. Sedangkan peningkatan biaya investasi disebabkan oleh biaya investasi untuk pembangunan pembangkit tenaga surya dan tenaga air yang cukup mahal bila dibandingkan dengan jenis pembangkit lainnya. 

Penurunan biaya total tahunan ini masih berada di bawah 0,5% persen mengingat konversi jenis bahan bakar gas pada kajian ini masih diasumsikan hanya sebesar 100 MW dari total kapasitas pembangkit berbahan bakar gas sebesar 675 MW. Apabila asumsi konversi jenis bahan bakar gas ini ditingkatkan, maka kita akan mendapatkan nilai persentase penurunan biaya yang lebih besar.

Total Energi yang dihasilkan pada tahun 2027 adalah sebesar 8.290 GWh, maka nilai biaya total tahunan yang dapat dihemat dengan menggunakan alternatif 1 bisa mencapai Rp35,5 miliar/ tahun. Apabila nilai persentasi penghematan total biaya tahunan tersebut dapat diterapkan secara nasional, dengan jumlah energi nasional yang dihasilkan pada tahun 2027 adalah sebesar 433.852 GWh, maka nilai biaya total tahunan yang dapat  dihemat adalah sebesar Rp1,65 triliun. 

Apabila dengan menggunakan alternatif 2 bisa mencapai Rp29,7 miliar/ tahun dan nilai biaya total tahunan yang dapat dihemat secara nasional adalah sebesar Rp1,38 triliun. Adanya penurunan biaya dan penghematan pada produksi listrik dapat dialihkan untuk pekerjaan perluasan jaringan sehingga dapat digunakan untuk pengembangan listrik desa serta peningkatan pelayanan listrik masyarakat seluruh wilayah Indonesia.

Sebagai catatan, hasil kajian ini mengacu pada dokumen Rencana Usaha Peyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) tahun 2018 hingga 2027 dan usulan pemanfaatan pembangkit alternatif dengan menggunakan simulasi program Energy Plan. Hasil simulasi tidak dapat sepenuhnya menggambarkan feasibility penerapan proyek di lapangan, karena perlu mempertimbangkan berbagai aspek teknis lain seperti potensi energi yang pasti dapat dimanfaatkan, permasalahan sosial, permasalahan teknis pembangunan pembangkit, dan asumsi penentuan biaya (biaya variabel, biaya operasi, dan biaya investasi). Walaupun demikian, metode yang dilakukan pada kajian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penentuan jenis pembangkit yang akan ditambahkan untuk pemenuhan kebutuhan energi listrik di suatu wilayah pada masa yang akan datang. 


*Penulis:
Pegawai PLN tugas belajar sebagai mahasiswa program magister (S2) Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (STEI - ITB) tahun 2017-2018
- Tatok Winarko (Ketua)
- Candra Agus Dwi Wahyudi
- Totoh Abdul Matin 
- Yoka Mustofa