Uni Eropa tetap pasar terbuka minyak sawit Indonesia?
Semarang (Antaranews Kalteng) - Uni Eropa akan tetap menjadi pasar paling terbuka untuk minyak sawit Indonesia, kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend.
Pernyataan tertulis Guerend yang diterima Antara, Sabtu malam, tersebut didasarkan pada hasil pertemuan antara Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Dewan Uni Eropa mengenai revisi Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa (RED II) yang telah dilaksanakan pada 14 Juni lalu.
Sebagai upaya Uni Eropa melawan perubahan iklim, pertemuan tersebut telah menyepakati revisi Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa (RED II) mencakup pengurangan bertahap dari sejumlah kategori biofuel atau bahan bakar nabati tertentu yang turut dihitung untuk memenuhi target penggunaan energi terbarukan yang ambisius yakni sebesar 32 persen pada 2030.
"Biofuel akan dikaji dengan perlakuan yang sama, tanpa melihat sumbernya. Teks RED II tidak akan membedakan atau melarang minyak sawit," kata Dubes Guerend.
Uni Eropa menjelaskan bahwa tidak ada rujukan khusus atau eksplisit untuk minyak sawit dalam Teks RED II. Ini berarti, tidak ada larangan ataupun pembatasan impor minyak sawit atau biofuel berbasis minyak sawit.
Ketentuan yang relevan dalam RED II hanya bertujuan mengatur sejauh mana biofuel tertentu dapat dihitung oleh negara-negara anggota Uni Eropa untuk mencapai target energi berkelanjutan mereka.
"Pasar Uni Eropa tetap terbuka untuk impor minyak sawit. Bagi Indonesia, Uni Eropa adalah pasar ekspor minyak sawit terbesar kedua, dan impor Uni Eropa telah meningkat secara signifikan pada 2017 sebesar 28 persen," tutur Guerend.
Baca juga: Ini cara diplomasi Indonesia perjuangkan minyak sawit di Eropa
Termasuk dalam kerangka peraturan yang baru ini adalah target energi terbarukan yang mengikat untuk Uni Eropa yakni sekurang-kurangnya sebesar 32 persen pada 2030 dibanding 27 persen sebelumnya. Persentase ini mungkin ditingkatkan lagi setelah tinjauan pada 2023.
Hal ini akan memungkinkan Eropa untuk mempertahankan perannya sebagai pemimpin dalam upaya melawan perubahan iklim, dalam melakukan transisi ke energi ramah lingkungan, dan dalam memenuhi tujuan yang ditetapkan oleh Kesepakatan Paris, yaitu membatasi pemanasan global hingga 2 derajat Celcius, serta mencapai keseimbangan antara sumber dan rosot (sink) gas rumah kaca pada paruh kedua abad ini atas dasar pemerataan, pembangunan berkelanjutan, dan upaya pemberantasan kemiskinan.
Setelah kesepakatan politik dibuat pada 14 Juni 2018, teks arahan RED II harus secara resmi disetujui oleh Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa.
Usai disahkan oleh kedua badan legislasi tersebut dalam beberapa bulan mendatang, Arahan Energi Terbarukan yang diperbarui (RED II) akan dipublikasikan dalam Jurnal Resmi Uni Eropa dan akan mulai berlaku 20 hari setelah publikasi.
Negara-negara anggota Uni Eropa harus mengambil elemen-elemen baru dari RED II dan menjadikannya bagian dari undang-undang nasional paling lambat 18 bulan setelah tanggal mulai berlakunya.
Pernyataan tertulis Guerend yang diterima Antara, Sabtu malam, tersebut didasarkan pada hasil pertemuan antara Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Dewan Uni Eropa mengenai revisi Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa (RED II) yang telah dilaksanakan pada 14 Juni lalu.
Sebagai upaya Uni Eropa melawan perubahan iklim, pertemuan tersebut telah menyepakati revisi Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa (RED II) mencakup pengurangan bertahap dari sejumlah kategori biofuel atau bahan bakar nabati tertentu yang turut dihitung untuk memenuhi target penggunaan energi terbarukan yang ambisius yakni sebesar 32 persen pada 2030.
"Biofuel akan dikaji dengan perlakuan yang sama, tanpa melihat sumbernya. Teks RED II tidak akan membedakan atau melarang minyak sawit," kata Dubes Guerend.
Uni Eropa menjelaskan bahwa tidak ada rujukan khusus atau eksplisit untuk minyak sawit dalam Teks RED II. Ini berarti, tidak ada larangan ataupun pembatasan impor minyak sawit atau biofuel berbasis minyak sawit.
Ketentuan yang relevan dalam RED II hanya bertujuan mengatur sejauh mana biofuel tertentu dapat dihitung oleh negara-negara anggota Uni Eropa untuk mencapai target energi berkelanjutan mereka.
"Pasar Uni Eropa tetap terbuka untuk impor minyak sawit. Bagi Indonesia, Uni Eropa adalah pasar ekspor minyak sawit terbesar kedua, dan impor Uni Eropa telah meningkat secara signifikan pada 2017 sebesar 28 persen," tutur Guerend.
Baca juga: Ini cara diplomasi Indonesia perjuangkan minyak sawit di Eropa
Termasuk dalam kerangka peraturan yang baru ini adalah target energi terbarukan yang mengikat untuk Uni Eropa yakni sekurang-kurangnya sebesar 32 persen pada 2030 dibanding 27 persen sebelumnya. Persentase ini mungkin ditingkatkan lagi setelah tinjauan pada 2023.
Hal ini akan memungkinkan Eropa untuk mempertahankan perannya sebagai pemimpin dalam upaya melawan perubahan iklim, dalam melakukan transisi ke energi ramah lingkungan, dan dalam memenuhi tujuan yang ditetapkan oleh Kesepakatan Paris, yaitu membatasi pemanasan global hingga 2 derajat Celcius, serta mencapai keseimbangan antara sumber dan rosot (sink) gas rumah kaca pada paruh kedua abad ini atas dasar pemerataan, pembangunan berkelanjutan, dan upaya pemberantasan kemiskinan.
Setelah kesepakatan politik dibuat pada 14 Juni 2018, teks arahan RED II harus secara resmi disetujui oleh Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa.
Usai disahkan oleh kedua badan legislasi tersebut dalam beberapa bulan mendatang, Arahan Energi Terbarukan yang diperbarui (RED II) akan dipublikasikan dalam Jurnal Resmi Uni Eropa dan akan mulai berlaku 20 hari setelah publikasi.
Negara-negara anggota Uni Eropa harus mengambil elemen-elemen baru dari RED II dan menjadikannya bagian dari undang-undang nasional paling lambat 18 bulan setelah tanggal mulai berlakunya.