Perjalanan panjang pembuktian khasiat dari Bajakah

id bajakah,akar bajakah,obat kanker,Perjalanan panjang pembuktian khasiat dari Bajakah

Perjalanan panjang pembuktian khasiat dari Bajakah

Seorang warga Sampit mencoba air rendaman kayu Bajakah yang dijual di Pasar Keramat Sampit, Jumat (23/8/2019). (Foto Istimewa)

Jakarta (ANTARA) - Informasi seputar bajakah mendadak menjadi viral menyusul warta mengenai prestasi murid SMAN 2 Palangka Raya dalam ajang World Invention Creativity Olympic 2019 di Korea Selatan.

Pada 28 Juli, Anggina Rafitri, Aisya Aurealya Maharani, dan Yazid Rafli Akbar mendapat medali emas dari ajang tersebut untuk penelitian mereka mengenai manfaat senyawa antioksidan yang terkandung dalam bajakah untuk mereduksi sel kanker pada tikus kecil putih di laboratorium.

Maraknya pemberitaan mengenai capaian ketiga murid SMA itu serta khasiat bajakah di berbagai media massa mendorong warga untuk mencari lebih banyak informasi mengenai bajakah dan orang-orang memanfaatkan peluang tersebut untuk menjual cacahan kayu bajakah.

Beredar juga kabar mengenai pasien kanker yang menunda kemoterapi karena ingin mencoba khasiat bajakah, tanaman endemik Kalimantan yang sejak lama digunakan oleh warga pulau itu untuk mengobati kanker.

Pemahaman yang kurang lengkap mengenai khasiat bajakah membuat sebagian orang menganggapnya bisa menjadi obat kanker.

Guru Besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Akmal Taher mengatakan bahwa bajakah memiliki potensi menjadi obat kanker, namun belum bisa disebut berkhasiat menyembuhkan kanker.

Khasiat bajakah sebagai obat penyembuh kanker masih membutuhkan pembuktian panjang.


Obat tradisional

Tanaman bajakah sudah digunakan oleh masyarakat Dayak secara turun menurun sebagai obat untuk berbagai penyakit. Selain bajakah, masih banyak jenis tanaman berkhasiat obat yang ada di Indonesia.

Dari sekitar 30 ribu herba yang ada di Indonesia, baru 13 ribu jenis tanaman yang dimanfaatkan untuk kebutuhan pengobatan dan pencegahan penyakit dalam bentuk produk jamu.

Dari 13 ribu jenis tanaman yang sudah dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit dan kebutuhan pengobatan, baru 500 jenis yang sudah menjalani uji klinis dan menjadi obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka.

Obat herbal dikategorikan menjadi tiga berdasarkan proses produksi dan uji klinis, yang pertama minuman untuk kesehatan yang diracik dari berbagai herba dan bisa diproduksi oleh masyarakat.

Selanjutnya ada OHT yang diracik menggunakan bahan baku herbal yang sudah ditentukan standarnya serta telah diuji keamanan dan khasiatnya.

Di atas OHT ada fitofarmaka, obat berbahan dasar herbal yang telah teruji secara klinis bisa menyembuhkan penyakit pada manusia dan diproduksi secara terstandar. Fitofarmaka biasanya sudah dikemas sebagaimana obat yang umumnya dijual di apotek.

Prof Akmal Taher, yang juga Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Pelayanan, menjelaskan bahwa herba yang digunakan sebagai obat tradisional dibagi menjadi dua berdasarkan keamanannya dan khasiatnya.

Bajakah, menurut dia, terbukti cukup aman untuk dikonsumsi karena sudah digunakan sebagai obat secara turun temurun oleh warga Kalimantan sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu.

Berdasarkan khasiatnya, bajakah diyakini bisa menyembuhkan kanker oleh masyarakat Suku Dayak. Namun untuk memastikan khasiat dan keamanan herba tersebut untuk penyembuhan penyakit, harus dilakukan sejumlah tahapan penelitian dan pengujian.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siswanto menjabarkan, tahapan proses pengujian untuk membuktikan khasiat anti-kanker herba seperti bajakah antara lain meliputi uji praklinis.

Uji praklinis untuk obat kanker harus meliputi pengujian terhadap dua sel kanker yang berbeda. Bila bajakah misalnya terbukti bermanfaat membunuh sel kanker payudara, maka harus diuji ulang dengan sel kanker lain.

Selanjutnya pengujian harus dilakukan pada binatang seperti mencit atau tikus putih kecil yang disuntik sel kanker. Apabila pengujian pada hewan berhasil, penggunaan herba itu harus melalui tiga fase pengujian pada manusia.

Pengujian fase pertama untuk melihat toksisitas atau keamanan dan cara kerja, fase kedua untuk melihat efikasi dan manfaatnya pada jumlah sampel terbatas, dan fase ketiga mencakup pengujian pada pasien dengan jumlah banyak.

"Kalau itu sudah terbukti barulah diklaim bahwa memang ekstrak tadi mempunyai anti-kanker melalui uji klinis," kata Siswanto.

Bukan yang pertama

Penelitian mengenai khasiat herba Indonesia untuk penyembuhan kanker sebelumnya sudah banyak dilakukan. Bajakah bukanlah herba pertama dan satu-satunya yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi obat kanker.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam mengungkapkan, tim Human Cancer FKUI yang dipimpin oleh Prof Dr. rer. physiol. dr. Septelia Innawati PhD baru saja mendapat tiga paten terkait terapi kanker payudara.

Salah satunya patennya untuk kerja senyawa bahan alam Andrografolida yang awalnya bersumber dari daun sambiloto. Andrografolida dapat meningkatkan apoptosis sel punca kanker payudara melalui penekanan protein survivin (studi in silico dan in vitro).

Saat ini mahasiswa S3 Biomedik FKUI akan melakukan uji in vivo dengan Andrografolida. Proses untuk patennya itu membutuhkan waktu empat tahun.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan juga membuat Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) dengan membangun basis data pengetahuan etnofarmakologi, ramuan obat tradisional, dan tumbuhan obat di Indonesia.

Ristoja telah dilakukan pada 405 etnis di 34 provinsi di Indonesia pada tahun 2012, 2015, dan 2017 dengan melibatkan 2.170 peneliti dan 2.354 pengobat tradisional yang berhasil mengidentifikasi 2.848 spesies tumbuhan obat dan 32.014 ramuan. Ada 74 kelompok kegunaan ramuan yang berhasil tercatat dari Ristoja.

Sebanyak 10 keluhan atau penyakit terbanyak yang ditemukan dalam riset tumbuhan obat dan jamu yaitu demam, sakit perut, sakit kulit, luka terbuka, sering buang air besar, batuk, tumor atau kanker, darah tinggi, kencing manis, dan cedera tulang. Tumor atau kanker termasuk satu dari 10 besar penyakit yang ditangani dengan tanaman obat atau jamu.

Sejak tahun 2012 hingga 2017 Ristoja menginventarisasi lebih dari 700 ramuan jamu untuk pengobatan tumor atau kanker yang menggunakan tumbuhan obat tertentu. Beberapa contohnya yaitu tumbuhan malapari (Pongamia pinnata) di Bengkulu dan alang-alang (Imperata cylindrica) di Sulawesi Tengah, dan samama (Anthocephalus chinensis) di Maluku Utara.

Analisis lanjut hasil Ristoja terhadap formula jamu untuk tumor atau kanker pada tahun 2018 dilakukan berdasarkan skrining in-vitro terhadap tanaman obat maupun formula jamu yang dimanfaatkan untuk tumor dan anti-kanker.

Dari hasil pengujian terhadap beberapa sel kanker (sel kanker payudara, kolon, serviks), diketahui bahwa ada beberapa tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai obat anti-kanker, antara lain Mikania micrantha Kunth, Leucas lavandulifolia Sm, Callicarpa longifolia Lam, Calophyllum inophyllum L, Tetracera scandens Merr, dan Cucurbitaceae atau yang biasa dikenal dengan akar batu atau aikabasa di wilayah Nusa Tenggara Timur.

Peneliti di Balai Besar Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu Yuli Widiyastuti mengatakan bahwa aikabasa bisa digunakan untuk mengatasi kanker sebagaimana bajakah.

Aikabasa merupakan akar tanaman menjalar yang telah digunakan secara turun temurun untuk mengatasi kanker atau tumor oleh salah satu suku di Nusa Tenggara Timur.

Proses penelitian tanaman herbal hingga bisa menjadi obat penyakit di level fitofarmaka membutuhkan biaya tidak sedikit dan waktu lama, serupa dengan waktu upaya industri farmasi melakukan penelitian untuk menciptakan obat baru untuk penyakit tertentu yang membutuhkan waktu belasan hingga puluhan tahun.

"Dari 100 kandidat tanaman herbal, yang berujung pada obat hanya lima persen. Tidak mudah melakukan penelitian sampai suatu produk yang diterima oleh ilmu kedokteran," kata Siswanto mengenai penelitian tanaman herbal untuk fitofarmaka.

Banyak dari kandidat herba berkhasiat obat, khususnya untuk tumor atau kanker, yang berguguran dalam proses penelitian dan pengujian, dan akhirnya hanya dapat digunakan sebagai suplemen, bukan obat.