Cegah satu paslon borong semua parpol saat Pilkada, kata Teras Narang
Palangka Raya (ANTARA) - Gubernur Kalimantan Tengah periode 2005-2015 Agustin Teras Narang menilai bahwa Undang-undang tentang pemilihan kepala daerah, perlu dilakukan penyempurnaan sekaligus mencegah terjadinya calon tunggal.
Penyempurnaan yang perlu dilakukan adalah pemberian batasan terhadap koalisi partai politik dalam mengusung pasangan calon di Pilkada, kata Teras Narang saat menjadi narasumber di seminar nasional bertema 'Menyongsong Pilkada 2020' di Palangka Raya, Sabtu.
"Calon tunggal terjadi biasanya karena ada satu paslon yang memborong semua parpol. Itu harus dicegah. Cara mencegah agar jangan sampai itu terjadi, UU pilkada yang harus direvisi," ucapnya.
Dia pun mencontohkan bentuk pembatasan koalisi dengan melihat perolehan kursi parpol di DPRD Kalteng. Di mana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendapatkan 11 kursi, sehingga tidak bisa lagi berkoalisi dengan parpol manapun dalam mengusung paslon di Pilkada Kalteng.
Teras mengatakan syarat paslon di Pilkada Kalteng diusung dari jalur parpol hanya sembilan kursi yang ada DPRD Kalteng. Dengan begitu, PDIP secara otomatis bisa mengusung paslon sendiri.
"Bagi parpol yang tidak cukup jumlah kursinya dalam mengusung paslon, baru berkoalisi. Tapi berkoalisinya jangan terlalu berlebihan. Koalisinya untuk mencukupi satu paslon yang akan diusung," beber dia.
Misal, lanjut Anggota DPD RI terpilih periode 2019-2024 itu, Partai Golkar yang memperoleh tujuh kursi di DPRD Kalteng cukup berkoalisi dengan satu atau dua parpol. Apabila ada satu parpol calon koalisi golkar itu memperoleh lima atau enam kursi di DPRD Kalteng, cukup itu saja dan tidak diperbolehkan berkoalisi dengan parpol lain.
"Kalau seperti itu dibuat, saya yakin tidak akan terjadi calon tunggal di Pilkada manapun di Indonesia," kata Teras.
Baca juga: SMN tingkatkan wawasan generasi muda terhadap NKRI, kata Teras Narang
Menurut Anggota DPR RI periode 1999-2004 dan 2004-2005 itu, masyarakat harus diberikan banyak pilihan dalam Pilkada. Sebab, sejatinya pilkada itu adalah proses demokrasi untuk memilih satu dari beberapa paslon yang sedang berkompetisi.
Dia kembali mencontohkan pilkada Kalteng tahun 2005 yang dirinya juga menjadi peserta. Pilkada Kalteng pada tahun itu diikuti lima paslon, sehingga terjadi kompetisi dan masyarakat pun memiliki banyak pilihan.
"Pilkada Kalteng tahun 2010 juga diikuti empat paslon. Kompetisinya ada.
Kalau paslon tunggal, ya itu bukan Pilkada lagi namanya. Namanya juga pemilihan, ya tentu ada yang dipilih. Kalau yang maju cuma satu, apakah itu pemilihan?," kata Teras Narang.
Seminar Nasional bertema 'Menyongsong Pilkada 2020' diselenggarakan Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) Kalimantan Tengah, bekerjasama dengan Universitas Kristen Palangka Raya.
Baca juga: Akhiri persaingan, Jokowi segera diminta umumkan lokasi Ibu Kota RI
Baca juga: Teras Narang dorong gerakan Dayak Layak Terang
Penyempurnaan yang perlu dilakukan adalah pemberian batasan terhadap koalisi partai politik dalam mengusung pasangan calon di Pilkada, kata Teras Narang saat menjadi narasumber di seminar nasional bertema 'Menyongsong Pilkada 2020' di Palangka Raya, Sabtu.
"Calon tunggal terjadi biasanya karena ada satu paslon yang memborong semua parpol. Itu harus dicegah. Cara mencegah agar jangan sampai itu terjadi, UU pilkada yang harus direvisi," ucapnya.
Dia pun mencontohkan bentuk pembatasan koalisi dengan melihat perolehan kursi parpol di DPRD Kalteng. Di mana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendapatkan 11 kursi, sehingga tidak bisa lagi berkoalisi dengan parpol manapun dalam mengusung paslon di Pilkada Kalteng.
Teras mengatakan syarat paslon di Pilkada Kalteng diusung dari jalur parpol hanya sembilan kursi yang ada DPRD Kalteng. Dengan begitu, PDIP secara otomatis bisa mengusung paslon sendiri.
"Bagi parpol yang tidak cukup jumlah kursinya dalam mengusung paslon, baru berkoalisi. Tapi berkoalisinya jangan terlalu berlebihan. Koalisinya untuk mencukupi satu paslon yang akan diusung," beber dia.
Misal, lanjut Anggota DPD RI terpilih periode 2019-2024 itu, Partai Golkar yang memperoleh tujuh kursi di DPRD Kalteng cukup berkoalisi dengan satu atau dua parpol. Apabila ada satu parpol calon koalisi golkar itu memperoleh lima atau enam kursi di DPRD Kalteng, cukup itu saja dan tidak diperbolehkan berkoalisi dengan parpol lain.
"Kalau seperti itu dibuat, saya yakin tidak akan terjadi calon tunggal di Pilkada manapun di Indonesia," kata Teras.
Baca juga: SMN tingkatkan wawasan generasi muda terhadap NKRI, kata Teras Narang
Menurut Anggota DPR RI periode 1999-2004 dan 2004-2005 itu, masyarakat harus diberikan banyak pilihan dalam Pilkada. Sebab, sejatinya pilkada itu adalah proses demokrasi untuk memilih satu dari beberapa paslon yang sedang berkompetisi.
Dia kembali mencontohkan pilkada Kalteng tahun 2005 yang dirinya juga menjadi peserta. Pilkada Kalteng pada tahun itu diikuti lima paslon, sehingga terjadi kompetisi dan masyarakat pun memiliki banyak pilihan.
"Pilkada Kalteng tahun 2010 juga diikuti empat paslon. Kompetisinya ada.
Kalau paslon tunggal, ya itu bukan Pilkada lagi namanya. Namanya juga pemilihan, ya tentu ada yang dipilih. Kalau yang maju cuma satu, apakah itu pemilihan?," kata Teras Narang.
Seminar Nasional bertema 'Menyongsong Pilkada 2020' diselenggarakan Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) Kalimantan Tengah, bekerjasama dengan Universitas Kristen Palangka Raya.
Baca juga: Akhiri persaingan, Jokowi segera diminta umumkan lokasi Ibu Kota RI
Baca juga: Teras Narang dorong gerakan Dayak Layak Terang