Direktur PT MIT didakwa suap eks sekjen MA Nurhadi dan menantunya
Jakarta (ANTARA) - Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto didakwa memberikan suap sebesar Rp45,236 miliar kepada Sekretaris Mahkamah Agung 2012-2016 dan menantunya Rezky Herbiyono untuk mengurus dua perkara hukum.
"Terdakwa Hiendra Soenjoto memberikan uang suap sejumlah Rp45.726.955.000 kepada Nurhadi selaku Sekretaris Mahakmah Agung RI tahun 2012-2016 melalui Rezky Herbiyono supaya Nurhadi dan Rezky Herbiyono mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN)," kata jaksa penuntut umum KPK NN Gina Saraswati di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
Hiendra tidak hadir di pengadilan dan mengikuti sidang pembacaan dakwaan melalui "video conference" dari rutan KPK. Hiendra diketahui sempat buron sejak ditetapkan sebagai tersangka pada Februari 2020 dan baru ditangkap pada 29 Oktober 2020.
Tujuan pemberian uang tersebut adalah agar Nurhadi selaku Sekretaris MA yang punya kewenangan melakukan pembinaan dan pelaksaan tugas di lingkungan MA dan semua lingkungan pengadilan bersama Rezky Herbiyono mengupayakan pengurusan permasalahan hukum antara PT MIT melawan TP KBN terkait perjanjian sewa-menyewa depo kontainer milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi yang terletak di wilayah KBN Marunda kav C3-4.3, Marunda, Cilincing, Jakarta Utara serta gugatan melawan Azhar Umar terkait sengketa kepemilikan saham PT MIT.
Pertama, terkait gugatan PT MIT melawan PT KBN. Gugatan diajukan Hiendra Soenjoto pada 27 Agustus 2010. Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) mengabulkan gugatan PT MIT pada 16 Maret 2011 dan menghukum PT KBN untuk membayar ganti rugi PT MIT sebesar Rp81,778 miliar.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga menguatkan putusan PN Jakut tersebut, namun MA pada 29 Agustus 2013 malah menghukum PT MIT membayar ganti rugi Rp6,805 miliar secara tunai dan seketika kepada PT KBN. PT KBN pada 25 April 2014 lalu meminta Ketua PN Jakut memberikan "aanmaning" (teguran) kepada PT MIT untuk memenuhi putusan kasasi.
Hiendra lalu meminta dikenalkan adik ipar Nurhadi yaitu Rahmat Santoso yang juga paman Rezky yang berprofesi sebagai advokat. Hiendra lalu meminta Rahmat menjadi kuasanya untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.
Pada 20 Agustus 2014, Hiendra memberikan Rp300 juta kepada Rahmat dan cek sebesar Rp5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK PT MIT didaftarkan ke MA.
Rahmat lalu mengajukan PK PT MIT pada 25 Agustus 2014 sekaligus permohonan penangguhan eksekusi dengan alasan sedang diajukan PK dan diajukan gugatan kedua terhadap TP KBN.
Beberapa hari kemudian Hiendra menyampaikan ke Rahmat bahwa kuasanya sudah dicabut sehingga dilarang untuk mencairkan cek Rp5 miliar.
"Namun pada kenyataannya, terdakwa meminta Rezky Herbiyono yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan Nurhadi untuk mengurus perkara tersebut padahal diketahui saat itu Rezky bukanlah advokat," tutur jaksa Gina.
PN Jakut kemudian mengeluarkan penetapan untuk menangguhkan isi putusa MA sampai adanya putusan PK.
Rezky melalui Calvin Pratama membuat perjanjian dengan Hiendra yaitu Hiendra akan memberikan "fee" pengurusan administrasi terkait penggunaan "depo container" sebesar Rp15 miliar dengan jaminan cek bank QNB Kesawat atas nama PT MIT senilai Rp30 miliar, padahal pada kenyataannya Hiendra Sonjoto tidak punya dana pengurusan perkara.
Hiendra lalu dikenalkan Rezky kepada Iwan Cendekia Liman yang bisa membantu Hiendra untuk mendapat pendanaan dari Bank Bukopin Surabaya yang akan digunakan untuk membiayai pengurusan perkara PT MIT. Hiendra lalu memberikan uang Rp400 juta kepada Rezky sebagai uang muka pada 22 Mei 2015.
Rezky lalu meminjam Rp10 miliar kepada Iwan Cendekia Liman untuk mengurus perkara PT MIT karena Hiendra Soenjoto belum membayar "fee". Pada saat itu Rezky menyampaikan kepada Iwan Cendekia bahwa perkara sedang 'dihandle' Nurhadi dan uang akan dikembalikan dari pembayaran ganti rugi PT KBN kepada PT MIT sejumlah Rp81,778 miliar.
Pada 4 Juni 2015, PN Jakut lalu menolak gugatan kedua PT MIT dan PK PT MIT juga ditolak MA pada 18 Juni 2015. Namun meski gugatan kedua ditolak, Nurhadi melalui Rezky tetap menjanjikan Hiendra akan mengupayakan pengurusan perkara lahan "depo containter" tersebut.
Iwan Cendekia lalu mentransfer Rp10 miliar pada 19 Juni 2015, setelah menerima uang itu, Rezky lalu menyerahkan cek senilai Rp30 miliar dan 3 lembar cek Bank Bukopin atas nama Rezky kepada Iwan Cendekia Liman sebagai jaminan.
Pada 20 Juni 2015, Rezky di rumah Nurhadi menyampaikan kepada Iwan Cendekia bahwa perkara PT MIT sudah ditangani Nurdahdi dan dipastikan aman.
Perkara kedua adalah gugatatan Hiendra Soenjoto melawan Azhar Umar. Azhar mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Hiendra Soenjoto di PN Jakarta Pusat (Jakpus) pada 5 Januari 2015 tentang akta Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT MIT dan perubahan komisaris PT MIT yang didaftarkan pada 13 Februari 2015.
Hiendra lalu menghubungi Nurhadi melalui Rezky untuk mengupayakan pengurusan perkara tersebut.
"Atas uaya yang dilakukan Nurhadi dan Rezky Herbiyono, PN Jakpus lalu menolak gugatan yang diajukan Azhar Umar sehingga dilakukan upaya hukum banding namun PT DKI Jakarta juga menolak gugatan sehingga Azhar mengajukan kasasi," ungkap jaksa Gina.
Hiendra lalu meminta Hengky Soenjoto untuk mendesak Nurhadi dan Rezky agar dimenangkan oleh Hiendra.
"Untuk pengurusan perkara-perkara di atas, terdakwa memberikan uang kepada Nurhadi dan Rezky Heribiyono seluruhnya sejumlah Rp45,726 miliar yang pemberiannya disamarkan seolah-olah ada perjanjian kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM) antara terdakwa dengan Rezky Herbiyono," kata jaksa.
Terdapat 21 kali transfer ke rekening Rezky Herbiyono, Calvin Pratama, Soepriyono Waskito Adi dan Santoso Arif pada periode 2 Juli 2015 - 5 Februari 2016 dengan besaran bervariasi dari Rp21 juta sampai Rp10 miliar.
Atas penerimaan itu Nurhadi dan Rezky mempergunakannya untuk berbagai hal seperti ditarik tunai (Rp7,408 miliar), membeli lahan sawit di Padang Lawas sejumlah Rp2 miliar, ditransfer ke istri Nurhadi yaitu Tin Zuraida (Rp130 juta), membeli tas Hermes (Rp3,262 miliar), membeli pakaian (Rp396,9 juta), membeli mobil Land Cruiser, Lexus, Alpard beserta aksesoris (Rp4,504 miliar), membeli jam tangan (Rp1,4 miliar), membayar utang (Rp10,968 miliar), berlibur keluar negeri (Rp598,016 juta), ditukar dalam mata uang asing (Rp4,321 miliar), merenovasi rumah (Rp7,973 miliar) serta kepentingan lainnya (Rp7,873 miliar).
Atas perbuatannya, Hiendra didakwa berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut berisi tentang seseorang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban-nya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
"Terdakwa Hiendra Soenjoto memberikan uang suap sejumlah Rp45.726.955.000 kepada Nurhadi selaku Sekretaris Mahakmah Agung RI tahun 2012-2016 melalui Rezky Herbiyono supaya Nurhadi dan Rezky Herbiyono mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN)," kata jaksa penuntut umum KPK NN Gina Saraswati di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
Hiendra tidak hadir di pengadilan dan mengikuti sidang pembacaan dakwaan melalui "video conference" dari rutan KPK. Hiendra diketahui sempat buron sejak ditetapkan sebagai tersangka pada Februari 2020 dan baru ditangkap pada 29 Oktober 2020.
Tujuan pemberian uang tersebut adalah agar Nurhadi selaku Sekretaris MA yang punya kewenangan melakukan pembinaan dan pelaksaan tugas di lingkungan MA dan semua lingkungan pengadilan bersama Rezky Herbiyono mengupayakan pengurusan permasalahan hukum antara PT MIT melawan TP KBN terkait perjanjian sewa-menyewa depo kontainer milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi yang terletak di wilayah KBN Marunda kav C3-4.3, Marunda, Cilincing, Jakarta Utara serta gugatan melawan Azhar Umar terkait sengketa kepemilikan saham PT MIT.
Pertama, terkait gugatan PT MIT melawan PT KBN. Gugatan diajukan Hiendra Soenjoto pada 27 Agustus 2010. Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) mengabulkan gugatan PT MIT pada 16 Maret 2011 dan menghukum PT KBN untuk membayar ganti rugi PT MIT sebesar Rp81,778 miliar.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga menguatkan putusan PN Jakut tersebut, namun MA pada 29 Agustus 2013 malah menghukum PT MIT membayar ganti rugi Rp6,805 miliar secara tunai dan seketika kepada PT KBN. PT KBN pada 25 April 2014 lalu meminta Ketua PN Jakut memberikan "aanmaning" (teguran) kepada PT MIT untuk memenuhi putusan kasasi.
Hiendra lalu meminta dikenalkan adik ipar Nurhadi yaitu Rahmat Santoso yang juga paman Rezky yang berprofesi sebagai advokat. Hiendra lalu meminta Rahmat menjadi kuasanya untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.
Pada 20 Agustus 2014, Hiendra memberikan Rp300 juta kepada Rahmat dan cek sebesar Rp5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK PT MIT didaftarkan ke MA.
Rahmat lalu mengajukan PK PT MIT pada 25 Agustus 2014 sekaligus permohonan penangguhan eksekusi dengan alasan sedang diajukan PK dan diajukan gugatan kedua terhadap TP KBN.
Beberapa hari kemudian Hiendra menyampaikan ke Rahmat bahwa kuasanya sudah dicabut sehingga dilarang untuk mencairkan cek Rp5 miliar.
"Namun pada kenyataannya, terdakwa meminta Rezky Herbiyono yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan Nurhadi untuk mengurus perkara tersebut padahal diketahui saat itu Rezky bukanlah advokat," tutur jaksa Gina.
PN Jakut kemudian mengeluarkan penetapan untuk menangguhkan isi putusa MA sampai adanya putusan PK.
Rezky melalui Calvin Pratama membuat perjanjian dengan Hiendra yaitu Hiendra akan memberikan "fee" pengurusan administrasi terkait penggunaan "depo container" sebesar Rp15 miliar dengan jaminan cek bank QNB Kesawat atas nama PT MIT senilai Rp30 miliar, padahal pada kenyataannya Hiendra Sonjoto tidak punya dana pengurusan perkara.
Hiendra lalu dikenalkan Rezky kepada Iwan Cendekia Liman yang bisa membantu Hiendra untuk mendapat pendanaan dari Bank Bukopin Surabaya yang akan digunakan untuk membiayai pengurusan perkara PT MIT. Hiendra lalu memberikan uang Rp400 juta kepada Rezky sebagai uang muka pada 22 Mei 2015.
Rezky lalu meminjam Rp10 miliar kepada Iwan Cendekia Liman untuk mengurus perkara PT MIT karena Hiendra Soenjoto belum membayar "fee". Pada saat itu Rezky menyampaikan kepada Iwan Cendekia bahwa perkara sedang 'dihandle' Nurhadi dan uang akan dikembalikan dari pembayaran ganti rugi PT KBN kepada PT MIT sejumlah Rp81,778 miliar.
Pada 4 Juni 2015, PN Jakut lalu menolak gugatan kedua PT MIT dan PK PT MIT juga ditolak MA pada 18 Juni 2015. Namun meski gugatan kedua ditolak, Nurhadi melalui Rezky tetap menjanjikan Hiendra akan mengupayakan pengurusan perkara lahan "depo containter" tersebut.
Iwan Cendekia lalu mentransfer Rp10 miliar pada 19 Juni 2015, setelah menerima uang itu, Rezky lalu menyerahkan cek senilai Rp30 miliar dan 3 lembar cek Bank Bukopin atas nama Rezky kepada Iwan Cendekia Liman sebagai jaminan.
Pada 20 Juni 2015, Rezky di rumah Nurhadi menyampaikan kepada Iwan Cendekia bahwa perkara PT MIT sudah ditangani Nurdahdi dan dipastikan aman.
Perkara kedua adalah gugatatan Hiendra Soenjoto melawan Azhar Umar. Azhar mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Hiendra Soenjoto di PN Jakarta Pusat (Jakpus) pada 5 Januari 2015 tentang akta Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT MIT dan perubahan komisaris PT MIT yang didaftarkan pada 13 Februari 2015.
Hiendra lalu menghubungi Nurhadi melalui Rezky untuk mengupayakan pengurusan perkara tersebut.
"Atas uaya yang dilakukan Nurhadi dan Rezky Herbiyono, PN Jakpus lalu menolak gugatan yang diajukan Azhar Umar sehingga dilakukan upaya hukum banding namun PT DKI Jakarta juga menolak gugatan sehingga Azhar mengajukan kasasi," ungkap jaksa Gina.
Hiendra lalu meminta Hengky Soenjoto untuk mendesak Nurhadi dan Rezky agar dimenangkan oleh Hiendra.
"Untuk pengurusan perkara-perkara di atas, terdakwa memberikan uang kepada Nurhadi dan Rezky Heribiyono seluruhnya sejumlah Rp45,726 miliar yang pemberiannya disamarkan seolah-olah ada perjanjian kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM) antara terdakwa dengan Rezky Herbiyono," kata jaksa.
Terdapat 21 kali transfer ke rekening Rezky Herbiyono, Calvin Pratama, Soepriyono Waskito Adi dan Santoso Arif pada periode 2 Juli 2015 - 5 Februari 2016 dengan besaran bervariasi dari Rp21 juta sampai Rp10 miliar.
Atas penerimaan itu Nurhadi dan Rezky mempergunakannya untuk berbagai hal seperti ditarik tunai (Rp7,408 miliar), membeli lahan sawit di Padang Lawas sejumlah Rp2 miliar, ditransfer ke istri Nurhadi yaitu Tin Zuraida (Rp130 juta), membeli tas Hermes (Rp3,262 miliar), membeli pakaian (Rp396,9 juta), membeli mobil Land Cruiser, Lexus, Alpard beserta aksesoris (Rp4,504 miliar), membeli jam tangan (Rp1,4 miliar), membayar utang (Rp10,968 miliar), berlibur keluar negeri (Rp598,016 juta), ditukar dalam mata uang asing (Rp4,321 miliar), merenovasi rumah (Rp7,973 miliar) serta kepentingan lainnya (Rp7,873 miliar).
Atas perbuatannya, Hiendra didakwa berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut berisi tentang seseorang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban-nya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.