Pakar UGM menyayangkan putusan MA soal seragam sekolah
Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Wiyanti Eddyono mengatakan putusan Mahkamah Agung (MA) pada 3 Mei 2021 lalu yang membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang seragam sekolah hanya bertumpu pada satu penafsiran tertentu.
"Mahkamah Agung (MA) meletakkan argumentasi dalam putusannya lebih kepada dominasi nilai-nilai agama dan moralitas yang bertumpu pada satu penafsiran tertentu," kata Sri dalam Eksaminasi Publik yang digelar Komisi Nasional (Komnas) Perempuan secara daring, Kamis.
SKB yang dikeluarkan pada Februari lalu oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah intinya memuat larangan mewajibkan seragam sekolah berdasarkan agama.
Sri menilai bahwa Putusan MA tersebut mengabaikan argumentasi filosofis terutama dalam prinsip keadilan, prinsip HAM, prinsip non-diskriminasi terhadap perempuan, hingga prinsip kewajiban dalam pencegahan pelanggaran HAM.
Menurut dia, menguatnya politisasi agama sebagai satu konteks yang luas dan perempuan sebagai sandaran moral dan agama juga tidak dijadikan pertimbangan oleh MA.
Landasan yuridis berupa Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional digunakan sangat sempit dan mengabaikan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang setara seperti UU HAM, UU Perlindungan Anak, Konvensi Hak Perempuan, serta UU hasil ratifikasi berbagai konvensi mengenai HAM lainnya, kata Sri.
Dia menilai beberapa hal yang keliru di balik pertimbangan hakim MA, antara lain mengenai intoleransi yang digunakan berdasarkan agama justru mengakomodasi intoleransi.
Istilah intoleransi dipersepsikan sangat keliru, ujar Sri.
Pengajar Fakultas Hukum UGM itu juga mengatakan putusan MA membuat seolah-olah sekolah dan pemerintah berkewajiban menggantikan orangtua dan melakukan intervensi terhadap kebebasan beragama yang sangat hakiki dan privat.
"Yang menjadi penting lagi mengenai diskriminasi berbasis gender adalah adanya prasangka buruk terhadap perempuan yang tidak pakai jilbab disangka tidak bermoral dan tidak menjunjung tinggi agama," katanya menambahkan.
Sri menyatakan rasa prihatin atas putusan itu, karena MA adalah lembaga yang bersandarkan pada keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, bukan sebagai lembaga agama.
"Prihatin sekali jika MA berubah haluannya dan saya kira ini tidak tepat dan sangat disayangkan," ujarnya pula.
"Mahkamah Agung (MA) meletakkan argumentasi dalam putusannya lebih kepada dominasi nilai-nilai agama dan moralitas yang bertumpu pada satu penafsiran tertentu," kata Sri dalam Eksaminasi Publik yang digelar Komisi Nasional (Komnas) Perempuan secara daring, Kamis.
SKB yang dikeluarkan pada Februari lalu oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah intinya memuat larangan mewajibkan seragam sekolah berdasarkan agama.
Sri menilai bahwa Putusan MA tersebut mengabaikan argumentasi filosofis terutama dalam prinsip keadilan, prinsip HAM, prinsip non-diskriminasi terhadap perempuan, hingga prinsip kewajiban dalam pencegahan pelanggaran HAM.
Menurut dia, menguatnya politisasi agama sebagai satu konteks yang luas dan perempuan sebagai sandaran moral dan agama juga tidak dijadikan pertimbangan oleh MA.
Landasan yuridis berupa Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional digunakan sangat sempit dan mengabaikan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang setara seperti UU HAM, UU Perlindungan Anak, Konvensi Hak Perempuan, serta UU hasil ratifikasi berbagai konvensi mengenai HAM lainnya, kata Sri.
Dia menilai beberapa hal yang keliru di balik pertimbangan hakim MA, antara lain mengenai intoleransi yang digunakan berdasarkan agama justru mengakomodasi intoleransi.
Istilah intoleransi dipersepsikan sangat keliru, ujar Sri.
Pengajar Fakultas Hukum UGM itu juga mengatakan putusan MA membuat seolah-olah sekolah dan pemerintah berkewajiban menggantikan orangtua dan melakukan intervensi terhadap kebebasan beragama yang sangat hakiki dan privat.
"Yang menjadi penting lagi mengenai diskriminasi berbasis gender adalah adanya prasangka buruk terhadap perempuan yang tidak pakai jilbab disangka tidak bermoral dan tidak menjunjung tinggi agama," katanya menambahkan.
Sri menyatakan rasa prihatin atas putusan itu, karena MA adalah lembaga yang bersandarkan pada keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, bukan sebagai lembaga agama.
"Prihatin sekali jika MA berubah haluannya dan saya kira ini tidak tepat dan sangat disayangkan," ujarnya pula.