Perhelatan 2024 sambut sang pemimpin jangan bebani uang rakyat

id pemilu 2024,pilkada,apbn,uang rakyat

Perhelatan 2024 sambut sang pemimpin jangan bebani uang rakyat

Muncul wacana pelaksanaan Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan pemilu anggota legislatif pada bulan Februari, April, atau Mei 2024, sedangkan pilkada serentak nasional (sesuai UU Pilkada) pada tanggal 27 November 2024. ANTARA/ilustrator/Kliwon

Semarang (ANTARA) - Perhelatan pada tahun 2024 merupakan pesta demokrasi yang bakal melahirkan sang pemimpin di berbagai level, mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga presiden. Namun, jangan sampai pesta ini membebani uang rakyat.

Pesta akbar pada tahun yang sama juga bakal melahirkan wakil-wakil rakyat, mulai lembaga legislatif tingkat kabupaten/kota/provinsi, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Ada yang berpendapat "jangan kasih label harga untuk demokrasi". Namun, bukan berarti tanpa perhitungan cermat agar tepat guna. Apalagi, sampai menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tengah bangsa ini memerlukan dana untuk penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

Tidak mengherankan jika sejumlah wakil rakyat memandang perlu rekalkulasi terhadap usulan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) terkait dengan anggaran penyelenggaraan pemilihan umum sebesar Rp86,2 triliun.

Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus memandang perlu penghitungan kembali biaya pesta demokrasi sebesar itu. Pada prinsipnya anggaran itu harus rasional, objektif, serta efisien dan efektif. (Sumber ANTARA, 21 September 2021).

Wakil rakyat di komisi yang membidangi dalam negeri, sekretariat negara, dan pemilu ini menginformasikan anggaran Pemilu 2024 melonjak lebih dari tiga kali lipat daripada anggaran Pemilu 2019. Anggaran ini untuk honor petugas pemilu, infrastruktur kantor, dan operasional kendaraan.

Disebutkan pula bahwa anggaran Pemilu 2014 sekitar Rp16 triliun, Pemilu 2019 sekitar Rp27 triliun, dan usulan anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp86,2 triliun.



Di sisi lain usulan KPU untuk memberikan honor petugas badan ad hoc sesuai dengan upah minimum regional (UMR) di daerah masing-masing patut menjadi bahan pertimbangan wakil rakyat di Senayan.

Sudah sewajarnya panitia pemilihan kecamatan (PPK), panitia pemungutan suara (PPS), dan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) mendapat honor yang layak jika melihat beban kerja mereka.

Mereka akan bertugas pada Pemilu Serentak 2024. Namun, terkait dengan hari-"H" pencoblosan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI hingga sekarang belum final. KPU mengusulkan pada bulan Februari, ada pula yang mengusulkan pada bulan April dan Mei 2024.

Bila pada hari yang sama juga diselenggarakan Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota, anggota KPPS akan menghitung hasil pemilu yang terdiri atas lima surat suara.

Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 27 November 2024, mereka akan bertugas kembali sebagai anggota KPPS pada pemilihan kepala daerah (pilkada) tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.

Tidak Permanen

Berkaitan dengan efisiensi anggaran pelaksanaan pemilu/pilkada, muncul wacana perubahan sifat kelembagaan penyelenggara pemilihan umum tingkat kabupaten/kota dari permanen menjadi ad hoc.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menggulirkan kembali wacana itu jika model pemilu masih borongan. Kalau Pemilu Presiden/Wakil Presiden, pemilu anggota legislatif, dan pemilihan kepala daerah diselenggarakan pada tahun yang sama, terlalu boros mempertahankan masa jabatan 5 tahun.

Titi yang pernah sebagai Direktur Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan setuju penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota, baik KPU maupun bawaslu, kembali bersifat ad hoc jika pembuat undang-undang tidak mau mengubah model pemilu itu.

Diskursus KPU/bawaslu kembali menjadi lembaga ad hoc dengan masa jabatan cukup 3 tahun, sebagaimana usulan Titi, terkait dengan cost benefit analysis (analisis biaya manfaat) karena pelaksanaan pemilu dan pilkada bersamaan waktunya.

KPU/bawaslu yang permanen 5 tahun di kabupaten/kota, menurut dia, hanya relevan untuk mempertahankannya kalau model keserentakan pemilunya memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah.

Pemilu nasional untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, serta anggota DPD, sedangkan pemilu daerah dalam rangka memilih anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota, serta gubernur/wakil gebernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.

Makanya, sejak lama Perludem mengusulkan model keserentakan seperti ini, yaitu pemilu nasional diselenggarakan setiap 5 tahun. Dua tahun setelahnya dilanjutkan pemilu daerah sehingga siklus pemilu berlangsung secara berkesinambungan.

Muncul pertanyaan seberapa besar penghematan jika KPU tingkat kabupaten/kota menjadi lembaga ad hoc dengan masa bakti 3 tahun.



Ambil contoh uang kehormatan untuk 514 ketua KPU kabupaten/kota selama 5 tahun. Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2016 tentang Kedudukan Keuangan Ketua dan Anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, total uang kehormatan untuk mereka sebesar Rp395.461.320.000,00.

Jika masa bakti 3 tahun, uang kehormatan untuk ketua KPU kabupaten/kota sebesar Rp237.276.792.000,00, atau hemat sebesar Rp158.184.528.000,00.

Sementara itu, untuk 2.056 anggota KPU kabupaten/kota se-Indonesia sebesar Rp1.427.645.280.000,00 selama 5 tahun, sedangkan masa bakti 3 tahun sebesar Rp856.587.168.000,00, atau penghematan anggaran Rp571.058.112.000,00.

Dengan demikian, total penghematan, baik anggaran untuk ketua maupun anggota KPU kabupaten/kota, sebesar Rp729.242.640.000,00. Itu baru uang kehormatan bagi ketua dan anggota KPU kabupaten/kota, belum termasuk masuk operasionalnya dan fasilitas bagi penyelenggara pemilu.

Model Pemilu

Meski model keserentakan pemilihan umum mendatang memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD, kemudian pada tahun yang sama menggelar pilkada, tidak melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019, efisiensi anggaran patut menjadi pertimbangan, termasuk wacana KPU kabupaten/kota kembali bersifat ad hoc.

Dalam putusan MK tersebut terdapat lima pilihan model keserentakan pemilu, yaitu:

Pertama, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD.

Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, gubernur, dan bupati/wali kota.

Ketiga, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota.

Keempat, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.

Kelima, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden. Beberapa waktu setelahnya pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi dan memilih gubernur, kemudian beberapa waktu setelahnya pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan memilih bupati/wali kota.

Dalam putusan MK itu juga memberi keleluasaan kepada pembuat undang-undang untuk melakukan pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.

Sebelum putusan MK itu, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, serta wali kota/wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dilaksanakan pada bulan November 2024.

Soal penentuan model keserentakan pemilu, bergantung pada pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR RI. Namun, yang perlu diingat bahwa apa pun modelnya perlu tahu akan kemampuan anggaran.

Hal lain yang harus menjadi perhatian pemangku kepentingan pemilu adalah kesehatan penyelenggara, terutama anggota KPPS yang bertugas di tempat pemungutan suara (TPS). Jangan sampai mereka menjadi korban kembali pada pesta demokrasi setiap lima tahunan itu.