DMO batu bara tak tepat masuk ke dalam RUU Energi Baru Terbarukan
Jakarta (ANTARA) - Koalisi Bersihkan Indonesia menilai ketentuan Domestic Market Obligation atau DMO batu bara tak tepat masuk ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) karena batu bara masuk ke dalam kategori energi kotor yang tinggi emisi.
Koordinator Bersihkan Indonesia Ahmad Ashov Birry mengatakan penempatan DMO batu bara di tengah momentum Indonesia menjadi pemimpin Forum G20 tahun ini dapat memberikan sinyal negatif terhadap komitmen Indonesia dalam mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan dunia.
"Ini sinyal yang tidak baik dan tidak jelas kepada komunitas internasional yang bersolidaritas atas dasar urgensi krisis iklim," kata Ashnov dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis.
Ia menyarankan agar pemerintah melihat potensi terganggunya keinginan bersolidaritas komunitas internasional terhadap rancangan regulasi yang masih memihak energi fosil.
"Ini perkara sinyal apalagi levelnya undang-undang, termasuk ke komunitas internasional, industri, tetapi juga kepada masyarakat," ujar Ashnov.
Sebelumnya, Badan Legislasi DPR RI mengusulkan besaran DMO masuk ke dalam norma RUU EBT agar Indonesia--sebagai salah satu negara penghasil batu bara terbesar dunia--tidak lagi mengalami kelangkaan batu bara melalui skema pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Pada pasal enam ayat enam RUU EBT tertulis untuk memastikan ketersediaan energi primer dalam pemanfaatan pembangkit listrik energi tak terbarukan, penyediaan batu bara bagi kebutuhan pembangkit listrik dilakukan dengan mekanisme DMO dengan ketentuan minimal 30 persen dari rencana produksi batu bara dan harga paling tinggi 70 dolar AS per ton dengan acuan batu bara kalori 6.322 kcal per kilogram.
Koordinator Bersihkan Indonesia Ahmad Ashov Birry mengatakan penempatan DMO batu bara di tengah momentum Indonesia menjadi pemimpin Forum G20 tahun ini dapat memberikan sinyal negatif terhadap komitmen Indonesia dalam mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan dunia.
"Ini sinyal yang tidak baik dan tidak jelas kepada komunitas internasional yang bersolidaritas atas dasar urgensi krisis iklim," kata Ashnov dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis.
Ia menyarankan agar pemerintah melihat potensi terganggunya keinginan bersolidaritas komunitas internasional terhadap rancangan regulasi yang masih memihak energi fosil.
"Ini perkara sinyal apalagi levelnya undang-undang, termasuk ke komunitas internasional, industri, tetapi juga kepada masyarakat," ujar Ashnov.
Sebelumnya, Badan Legislasi DPR RI mengusulkan besaran DMO masuk ke dalam norma RUU EBT agar Indonesia--sebagai salah satu negara penghasil batu bara terbesar dunia--tidak lagi mengalami kelangkaan batu bara melalui skema pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Pada pasal enam ayat enam RUU EBT tertulis untuk memastikan ketersediaan energi primer dalam pemanfaatan pembangkit listrik energi tak terbarukan, penyediaan batu bara bagi kebutuhan pembangkit listrik dilakukan dengan mekanisme DMO dengan ketentuan minimal 30 persen dari rencana produksi batu bara dan harga paling tinggi 70 dolar AS per ton dengan acuan batu bara kalori 6.322 kcal per kilogram.